DPRD Kota Makassar
PEMKOT MAKASSAR

Hilirisasi: Antara Transformasi Pendidikan dan Inovasi Sosial

Hilirisasi: Antara Transformasi Pendidikan dan Inovasi Sosial

Prof Mursalin Nohong, guru besar FEB Unhas.--

Oleh: Mursalim Nohong

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin

 

 

ADA satu ciri dari lembaga pemerintah di Indonesia yakni ganti pemerintahan ganti kebijakan. Sebutlah misalnya, di bidang pendidikan tinggi saat ini tentang kampus berdampak. Kampus berdampak dan hilirisasi menjadi dua isu yang trend untuk hal tersebut. 

Isu ini mengubah cara memahami pola interaksi antara pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kehidupan masyarakat. Hilirisasi bukan lagi sekadar strategi ekonomi untuk mengolah sumber daya alam, melainkan sebuah paradigma baru yang memaknai bagaimana ilmu pengetahuan harus bergerak: tidak berhenti di hulu sebagai teori dan rumusan, tetapi mengalir ke hilir menjadi manfaat nyata bagi masyarakat. Konsep inilah yang seolah menjadi dasar terbentuknya peradaban baru dunia pendidikan Indonesia.

Sekedar menengok beberapa dekade ke belakang, pendidikan sering kali digambarkan sebagai sebuah menara gading—tempat orang-orang berilmu berdiskusi, bereksperimen, dan menghasilkan publikasi, tetapi jarang bersentuhan langsung dengan realitas sehari-hari kehidupan masyarakat. 

Femonena karya dosen terstandar scopus lebih diberikan porsi penilaian dan rekognisi yang lebih tinggi dibandingkan 2 dharma lainnya. Akan tetapi, banyak penelitian berakhir di rak perpustakaan atau sekadar menjadi angka dalam pencapaian akademik dan kepangkatan. 

Padahal di luar sana, masyarakat menghadapi berbagai persoalan yang mendesak: pengangguran, ketimpangan digital, kebutuhan teknologi sederhana, peluang ekonomi hijau, persoalan UMKM, dan berbagai permasalahan sosial lainnya seperti ketidakadilan sosial dan ekonomi.

Kehadiran hilirisasi menawarkan pendekatan baru yang lebih membumi. Hilirisasi pendidikan berangkat dari kesadaran bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh berhenti sebagai gagasan abstrak. Setiap riset, inovasi, dan pencapaian akademik harus menemukan jalannya menuju kehidupan nyata. 

Pengetahuan harus menjadi motor perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan teknologi yang benar-benar dapat memberikan manfaat dan perubahan di masyarakat. Perguruan tinggi tidak lagi cukup menjadi pusat teori, tetapi harus menjadi pusat transformasi.

Dalam kaitan dengan itu, mahasiswa kini tidak hanya didorong untuk menulis makalah atau menyusun laporan, tetapi juga menciptakan aksi dan solusi. Mahasiswa didorong mengembangkan aplikasi digital, prototipe teknologi tepat guna, sistem informasi untuk UMKM, inovasi lingkungan, mekanisme pemberdayaan kelompok rentan, hingga startup berbasis riset. 

Dosen pun mulai melihat diri bukan sekadar pengajar, tetapi mentor inovasi, fasilitator kolaborasi, dan mitra transformasi sosial dan pembangunan daerah. Kampus bergerak dari ruang eksklusif menjadi ruang kolaboratif, membuka pintu bagi industri, pemerintah daerah, komunitas, dan sektor swasta.

Perubahan ini menandai lahirnya sebuah peradaban pendidikan baru—peradaban di mana ilmu bukan lagi sesuatu yang berhenti di kepala, tetapi sesuatu yang bergerak, mengalir, dan bertransformasi menjadi dampak. Hilirisasi mengubah banyak hal, tetapi salah satu perubahan terbesar terjadi pada cara memahami fungsi pendidikan. 

Sumber: