Oleh: Ekky Aryadi Putra, Mahasiswa Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memiliki peran signifikan dalam menangani hoaks dan disinformasi di era digital. Dengan meningkatnya penggunaan internet dan media sosial, penyebaran informasi palsu dapat terjadi secara masif, memengaruhi opini publik, serta menimbulkan keresahan sosial. Dalam konteks ini, UU ITE menjadi instrumen hukum yang berfungsi untuk mengatur dan memberikan sanksi bagi pelaku penyebaran informasi yang tidak benar.
Namun, penerapan UU ITE sering menuai pro dan kontra. Di satu sisi, pasal-pasal terkait, seperti Pasal 27 dan Pasal 28, memberikan landasan hukum untuk menangani hoaks yang berpotensi merugikan individu atau kelompok masyarakat. UU ITE juga menjadi sarana untuk meningkatkan literasi digital dan mendorong masyarakat lebih bertanggung jawab dalam menyebarkan informasi.
Di sisi lain, kritik terhadap UU ITE mencakup ketidakjelasan pasal-pasal tertentu yang dianggap multitafsir, sehingga membuka peluang penyalahgunaan untuk membungkam kebebasan berekspresi. Beberapa kasus menunjukkan penerapan UU ITE lebih sering digunakan untuk menjerat kritikus daripada mencegah hoaks secara efektif.
Untuk menjadikan UU ITE alat yang lebih efektif dalam menangani hoaks, revisi dan penyesuaian regulasi perlu dilakukan. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus memastikan penerapan UU ITE berjalan adil, transparan, dan tidak mengekang kebebasan berpendapat. Di samping itu, literasi digital masyarakat harus ditingkatkan agar mereka mampu memilah informasi yang valid dan tidak mudah terprovokasi oleh berita palsu.
Dengan perbaikan dan pengawasan yang tepat, UU ITE dapat menjadi instrumen yang efektif untuk menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan terpercaya.***