<strong>Oleh: Dahlan Iskan</strong> <strong>BANYAK</strong> yang menganggap wanita ini bonek di bidang hukum: mendakwa sekaligus 19 orang dalam satu perkara. Tidak dipisah-pisah. Padahal di antara 19 orang itu ada nama besar seperti Presiden Donald Trump, mantan Kepala Staf Gedung Putih Mark Meadows, mantan wali kota New York yang juga pengacara besar Rudy Giuliani. Nama bonita (bonek wanita) itu Anda sudah tahu: Fani Willis. Jabatannyi: jaksa di distrik Fulton, yang wilayahnya mencakup sebagian kota metropolitan Atlanta. Fani lulusan cum laude Howard University, Washington DC. Di bidang politik. Lalu meraih doktor hukum dari Emory University di Atlanta. Sebenarnya Fani jaksa baru di situ. Saat itu. Baru dua bulan. Di Amerika Serikat jaksa bukan jabatan penugasan. Bukan pula jabatan karir. Untuk bisa menjadi jaksa harus mencalonkan diri dalam sebuah pilkada. Dalam pilkada itu rakyat memilih wali kota, anggota dewan perwakilan, dan jaksa. Di banyak daerah memilih juga manajer kota. Fani setelah cerai dengan suami mencalonkan diri sebagai jaksa Fulton. Pesaingnya berat sekali: incumbent yang sudah enam kali masa jabatan. Bukan saja incumbent, Paul Howard Jr adalah juga bos-nyi. Fani selama itu bekerja sebagai staf Paul. Kini wanita itu berumur 50 tahun. Kulit hitam. Anggota Partai Demokrat. Saat kampanye lalu Fani mengandalkan rekam jejaknyi sebagai jaksa. Dia pernah membongkar rekayasa nilai sekolah di Georgia agar reputasi mutu pendidikan di sana tetap baik. Di mata sebagian guru, nama Fani dianggap mencoreng dunia pendidikan. Tapi Fani justru terpilih. Dia selalu berkata: "semua ini demi para murid dan orang tua mereka." Bukan hanya perkaranya yang menarik. Pun cara Fani mengenakan tuduhan. Semua yang terlibat permainan itu dia jadikan tersangka dalam satu berkas perkara. Fani pun mengenakan pasal-pasal dalam UU Kejahatan Pemerasan Berkomplot. Hukumannya lebih berat. Cara Fani menangani perkara nilai itu dianggap istimewa. Fani sangat independen. Tidak ada yang bisa mencampuri jaksa di sana. Pun di perkara yang sekarang ini lagi dia tangani: kejahatan Pemilu 2020. Fani akan mengenakan UU Kejahatan Pemerasan secara Berkomplot. Sembilan belas orang dijadikan dalam satu berkas perkara. Fani tidak perlu pakai taktik ''makan bubur dari pinggir''. Atau ''menggunakan putusan pengadilan-bubur-di-pinggir sebagai alat bukti untuk menetapkan tersangka berikutnya.'' Sebagai jaksa baru, saat itu Fani hanya punya satu alat bukti permulaan: rekaman pembicaraan telepon antara Donald Trump dengan secretary of state Georgia. Pejabat tinggi itu, Bradford Jay Raffensperger, diminta Trump mencarikan tambahan suara. Trump menyebut perlunya tambahan angka 12.000 suara. Kekalahan Trump atas Joe Biden di Georgia sangat tipis. Ini langka: Capres Demokrat menang di Georgia. Kalau tambahan suara itu bisa didapat, kemenangan Biden bisa dibatalkan. Maka Trump-lah yang memenangkan Pilpres 2020. Dari bukti rekaman itu perkara pun melebar ke mana-mana. Fani menggali lebih dalam lagi. Termasuk ke soal pemilih palsu. Kenapa yang ditelepon Trump, Raffenspenger? Bukan Gubernur Georgia? Di negara bagian di Amerika, urusan pemilu tidak ada hubungannya dengan gubernur. Di sana ada satu jabatan yang disebut secretary of state. Jangan dikelirukan dengan pengertian secretary of state di pemerintahan federal yang berarti menteri luar negeri. Secretary of state di sebuah negara bagian adalah organisasi di luar kantor gubernur. Seperti gubernur tapi bukan gubernur. Yakni lembaga yang khusus mengurus pemilu, kependudukan dan arsip kependudukan, izn-izin profesional seperti pengacara, arsitek dan dokter, serta urusan inovasi. Trump tahu urusan pemilu ada di secretary of state. Maka ia minta tolong kepadanya. Kepala lembaga ini, secretary of state, dipilih langsung oleh rakyat di satu negara bagian. Masa jabatannya sama dengan gubernur: 4 tahun. Gubernur Georgia sekarang dulunya adalah secretary of state. Dengan 19 terdakwa jadi satu berkas, alangkah ruwetnya proses persidangannya nanti. Tempat tinggal mereka tersebar di banyak negara bagian. Fani tidak peduli. Fani akan berebut waktunya Trump dengan lima jaksa di lima negara bagian lainnya. Trump kemungkinan besar akan menjadi terdakwa di lima perkara. Masing-masing ditangani jaksa yang berbeda. Semua harus memulai sidang awal 2024. Betapa padat jadwal Trump tahun depan. Belum lagi kalau ia harus juga kampanye. Kini Trump lagi mati-matian untuk memindahkan semua perkara itu ke pengadilan federal. Alasannya: ia mantan presiden. Alasan yang tidak dibeberkan: sebagian besar hakim agung tingkat federal diangkat oleh Trump. Perjuangan Trump lainnya: minta agar proses persidangannya dilakukan setelah Pilpres. Maksudnya: bila ia terpilih kelak, Trump bisa mengeluarkan dekrit pengampunan kepada dirinya sendiri. Di sana debat bisa terus dilakukan, tapi pekerjaan juga bisa terus dilanjutkan. (<strong>Dahlan Iskan</strong>)
Bonita Fani
Senin 21-08-2023,07:10 WIB
Editor : Muhammad Fadly
Kategori :