Polemik Pilkada Sulsel: Ijazah, Uang dan Tanda Tangan Palsu

Ilustrasi polemik pilkada di sulsel dari uang palsu hingga ijazah palsu.--Harian Disway Sulsel-Anton--
MAKASSAR, DISWAYSULSEL - Momentum perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 di Sulawesi Selatan menyisakan berbagai polemik.
Berbagai nuansa kepalsuan turut menyelimuti. Mulai isu ijazah, uang hingga tanda tangan. Bahkan isu ini telah bergulir di Mahkamah Konsitusi (MK).
Antaranya, dalil gugatan pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur Sulsel, Mohammad Ramdhan 'Danny' Pomanto – Azhar Arsyad di MK. Mereka mendalilkan adanya dugaan tanda tangan palsu pemilih sebanyak 1,6 juta di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota.
Begitupun gugatan pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palopo Farid Kasim Judas – Nurhaenih (FKJ-Nur) di MK. Dalam gugatannya, FKJ - Nur meminta hakim MK mendiskualifikasi rivalnya, Trisal Tahir - Akhmad Najamuddin (Trisal - Ome).
Pasalnya, pasangan Trisal - Ome tidak memenuhi syarat administrasi bertarung di Pilwali Palopo. Namun tetap diloloskan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebab, Trisal ditengarai menggunakan ijazah palsu untuk ikut bertarung kontestasi politik lalu.
Bahkan, tiga komisioner KPU Palopo telah diperiksa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atas verfikasi administrasi pasangan Trisal – Ome dinyatakan Memenuhi Syarat.
Tak sampai di situ, gelaran Pilkada Serentak di Sulawesi Selatan juga diwarnai kasus sindikat uang palsu di UIN Alauddin Makassar. Di mana terungkap uang palsu yang dicetak di kampus peradaban itu sempat diniatkan modal pencalonan kepala daerah.
Apalagi tersangka utama kasus uang palsu ini melibatkan seorang polikus sekaligus pengusaha, Annar Salahuddin Sampetoding (ASS). Di mana ASS diduga terafiliasi dengan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman - Fatmawati Rusdi (Andalan Hati) sebagai pemilik suara terbanyak di Pilkada 27 November lalu. Namun itu telah dibantah kubu Andalan Hati.
Pengamat Politik dari Profetik Institut, Asratillah menilai, berbagai polemik yang timbul pasca Pilkada, semestinya semua pihak harus ikut bertanggung jawab. Utamanya peserta maupun penyelenggara Pilkada.
“Menurut saya, semua pihak dalam hal ini partai politik, calon kepala daerah, tim sukses dan penyelenggara ikut bertanggung jawab,” sebutnya.
Menurut Asratillah, Partai Politik ikut bertanggung jawab karena gagal dalam melakukan perekrutan Calon Kepala Daerah secara demokratis. Di mana pemberian rekomendasi usungan, tidak didasari kapasitas calon, tapi seringkali mengutamakan kedekatan emosional dan kemampuan finansial yang kuat.
“Sehingga jangan heran jika banyak calon yang tidak begitu peduli dengan kualitas pemilihan, hanya berkutat pada bagaimana cara agar bisa memenangkan pemilihan,” katanya.
Para calon Kepala Daerah beserta Tim Suksesnya, kata Asratillah, juga ikut bertanggung jawab. Karena, mereka melihat Pilkada hanya sekedar prosedur dan formalitas untuk mengakses kekuasaan politik.
“Mesti diakui ada beberapa kandidat dan tim sukses yang hanya memikirkan cara untuk mengambil keuntungan material setelah duduk di pucuk tertinggi pemerintaham daerah,” ujarnya.
Sumber: