Pemilu Titipan di Sulsel, Integritas Goyah dan Demokrasi Rusak

Pemilu Titipan di Sulsel, Integritas Goyah dan Demokrasi Rusak

Ilustrasi Pilkada Titipan di Sulsel yang merusak demokrasi.--Istimewa--

Menurut Asratillah, yang menjadi Pekerjaan Rumah proses demokrasi saat ini adalah integritas yang belum terbangun dengan baik pada setiap penyelenggara Pemilu. Jadi sebaik apapun sistem Pemilu yang dirancang, akan berujung sia-sia jika masih masih terintervensi kepentingan politik tertentu.

“Biar kita mengotak-atik sistem yang ada, mekanisme, teknis administrasi apapun, dalam rangka mengurangi penyalahgunaan wewenang, kalau misalnya integritas itu tidak ada di komisioner, itu saya pikir susah. Namanya kalau regulasi itu selalu punya celah,” ungkap Asratillah.

“Dan menurut saya itu hanya bisa dilakukan kalau Pak Prabowo menegaskan, tidak boleh ada parpol, elit politik, tidak boleh ada orang istana yang cawe-cawe mengintervensi mulai dari perekrutan Timsel,” imbuhnya.

Pakar Hukum dari Universitas Negeri Makassar (UNM), Herman menyampaikan  komisioner KPU dan Bawaslu tidak terlepas dari kepentingan politik, sebab untuk mencapai jabatan tersebut dibutuhkan rekomendasi dari partai politik itu sendiri.

“Kemandirian komisioner apakah di KPU maupun Bawaslu itu ada rekomendasi dari partai, kita tidak akan bisa menjadi komisioner ketika tidak ada rekomendasi partai, dari awal saja pintu masuk jadi komisioner ada pengaruh dari partai,” ungkapnya.

Besarnya pengaruh partai membuat KPU dan Bawaslu gampang di stir. Bukan hanya dari parpol. Kepala daerah yang punya kepentingan politik turut melakukan hal yang serupa. Apalagi jika kepala daerah itu punya dukungan partai yang besar.

“Dari awal sampai bekerjanya dengan pemilu atau pilkada pengaruhnya sangat luar biasa misalnya dari pemerintah di satu kabupaten pengaruh bupati sangat besar dalam kemandirian kpu maupun bawaslu, apalagi yang memiliki dukungan partai yang besar itu sangat mudah untuk mempengaruhi keputusan kinerja dari para komisioner,” pungkasnya.

“Contoh kasus di palopo, semrawutnya keadaan sampai calon yang dinyatakan tidak lolos syarat lalu kemudian bisa lolos,” sambungnya.

Menurut akademisi dari kampus pendidikan itu, jalan yang mesti ditempuh  memotong intervensi partai dalam syarat menjadi komisioner. Kedua dengan membatasi wewenang kepala daerah 6 bulan sebelum pemilu berlangsung, ia menyebutnya teori lame duck atau bebek pincang.

“Harusnya dari awal meninggalkan pengaruh partai,” tegasnya.

“Harus sepeti di Amerika model pemilihan kepala daerah sebelum pemilihan maka di bebek pincang kan itu ada teorinya, sehingga tidak mempengaruhi komisioner kpu bawaslu karena ini potensi kemandirian kpu dipertanyakan,” terangnya.

Wakil Ketua Partai NasDem Sulsel, Andi Tobo Khaeruddin memberikan beberapa catatan penting bagi para penyelenggara Pemilu pasca Pemilu dan Pilkada Serentak. Bahkan dia menyoroti salah satu kasus yang melibatkan usungan NasDem di Pilwali Palopo.

Di mana sebelumnya diketahui, pasangan Farid Kasim Judas (FKJ) – Nurhaenih yang diusung  NasDem melakukan gugatan sengketa Pilkada ke Mahkamah Konstitusi, dan saat ini telah bergulir hinga ke tahap pembuktian. Bahkan, pada Pilwali Palopo ini juga diwarnai pemecatan 3 komisioner KPU oleh DKPP RI.

“Menandakan memang integritas KPU ini perlu ditingkatkan. Katakanlah kasus Palopo. Artinya apa, ini walaupun misalnya belum ada putusan Inkracht, tapi sudah bisa kita menduga ketika ada kasus seperti itu, perlu kita pertanyakan integritas KPU,” ungkap Andi Tobo, Minggu, 9 Februari 2025.

Perihal intervensi parpol lewat rekomendasi untuk calon komisioner penyelenggara, Andi Tobo mengatakan hal itu adalah hal yang dapat dibedakan namun tak dapat dipisahkan. Menurut dia, rekomendasi tersebut bukan hanya dikeluarkan oleh parpol, tetapi juga lembaga lain yang tidak menutup kemungkinan juga punya kepentingan tertentu.

Sumber: