Paradoks Energi Bersih: Surga Dikeruk Demi Baterai

Ahmad Syafii Hafid, Ketua Umum Pikom IMM Faperta Unismuh Makassar.--
Data dari cerah.or.id menunjukkan bahwa sekitar 5.331 hektare hutan tropis telah dibabat habis untuk keperluan tambang. Dampaknya bukan hanya hilangnya tutupan hijau, tetapi juga pelepasan karbon dalam jumlah besar yang sebelumnya tersimpan di dalam tanah dan vegetasi. Sekitar 2,04 juta metrik ton emisi karbon dilepaskan ke atmosfer, menyumbang pada percepatan krisis iklim.
Tak hanya di darat, laut pun menjadi korban. Di Raja Ampat, sedimentasi dari aktivitas tambang nikel menyebabkan peningkatan kekeruhan air laut. Terumbu karang yang bergantung pada sinar matahari untuk berfotosintesis kini terancam mati perlahan. Dampaknya bukan hanya bagi biota laut, tetapi juga terhadap industri wisata selam dan snorkeling yang menjadi andalan ekonomi warga setempat.
Di Morowali, Sulawesi Tengah yang dijuluki “Kota Nikel” banjir dan longsor besar pada awal tahun 2025 diduga kuat sebagai akibat dari degradasi lingkungan akibat pertambangan. Tanah kehilangan daya serapnya, aliran air tersumbat, dan masyarakat kecil menjadi korban yang tak terdengar suaranya.
Di balik gemerlap investasi dan angka ekspor yang melambung, masyarakat adat dan lokal kerap menjadi pihak yang paling menderita. Di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara, laut yang dulunya jernih kini berubah warna menjadi oranye akibat limbah bijih nikel yang mencemari pesisir.
Nelayan kehilangan hasil tangkapannya. Ibu-ibu kehilangan tempat mencari kerang. Air bersih menjadi barang mahal. Namun perusahaan tambang terus beroperasi, seolah tak pernah salah.
Ironisnya, alih-alih membawa kesejahteraan, tambang kerap menjadi motor pemiskinan. Harga tanah jatuh. Ketergantungan pada pekerjaan kasar meningkat.
Ketika tambang tutup atau insiden lingkungan terjadi, masyarakat lokal tak punya perlindungan sosial yang memadai. Mereka tak dianggap sebagai subjek pembangunan, melainkan hanya sebagai korban dari agenda ekonomi yang berorientasi jangka pendek.
Indonesia sebenarnya memiliki regulasi yang relatif cukup untuk menjaga pulau-pulau kecil dan kawasan pesisir dari aktivitas eksploitasi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 menegaskan kembali larangan eksploitasi tambang di wilayah-wilayah dengan daya dukung rendah.
Namun implementasinya kerap menghadapi hambatan: dari lemahnya koordinasi antar-lembaga, tekanan politik, hingga praktik-praktik rente yang melekat dalam sistem perizinan.
Kementerian ESDM sendiri baru-baru ini menghentikan sementara aktivitas PT Gag Nikel sebagai respons atas protes masyarakat dan temuan kerusakan di kawasan wisata Raja Ampat. Ini langkah positif, namun belum cukup. Tanpa evaluasi menyeluruh atas izin-izin yang telah diterbitkan, penyegelan hanya akan menjadi kosmetik kebijakan belaka.
Sudah saatnya Indonesia meninggalkan paradigma ekonomi ekstraktif yang mengorbankan alam demi pertumbuhan semu. Kita perlu membangun arah baru: ekonomi ekologis.
Sebuah konsep yang menempatkan alam bukan sekadar sumber daya, tapi sebagai mitra hidup. Investasi masa depan tak boleh sekadar dilihat dari neraca perdagangan, tetapi dari neraca kehidupan.
Pemerintah harus mewajibkan seluruh kegiatan tambang memiliki audit karbon dan audit sosial independen. Masyarakat adat harus menjadi subjek dalam proses perizinan, bukan objek yang diabaikan. Teknologi rendah emisi hanyalah kosmetik jika dampak sosial dan ekologisnya tetap destruktif.
Lebih dari itu, kita harus berani berkata tidak pada investasi yang melanggar prinsip keadilan ekologis dan antargenerasi. Transisi energi bukan alasan untuk kembali pada kolonialisme sumber daya. Kita tidak boleh menjual masa depan demi kenyamanan sesaat.
Apa yang terjadi di Raja Ampat seharusnya menjadi refleksi nasional. Di sinilah kita harus menarik garis batas. Tidak semua yang bisa dieksploitasi harus dikeruk. Tidak semua yang bisa dijual harus diuangkan. Ada hal-hal yang nilainya jauh melampaui angka PDB atau neraca dagang: martabat, kehidupan, dan hak generasi mendatang untuk menikmati bumi yang lestari.
Sumber: