Jerat Utang Desa!

Najamuddin Arfah. --
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Sebagaimana kritik mendiang Kwik Kian Gie tentang oligarki nasional dan korupsi struktural yang menggerogoti ekonomi Indonesia.
Penulis pernah melakukan penelitian tesis yang berjudul Transfer Fiskal-Dana desa Dan Ketimpangan Pendapatan di Indonesia, menemukan tantangan terbesar dari kebijakan Dana Desa terletak pada tata kelola dan potensi penyalahgunaan di tingkat lokal.
Tentu, kebijakan baru yang menjadikan Dana Desa sebagai agunan koperasi ini, dalam kacamata analisis kebijakan, bukanlah sekadar instrumen ekonomi, melainkan sebuah intervensi yang sangat sensitif terhadap dinamika politik di tingkat desa.
Di banyak desa, struktur kekuasaan sering kali didominasi oleh segelintir elite yang memiliki akses lebih dekat ke sumber daya dan informasi. PMK No. 49 Tahun 2025, alih-alih memberdayakan masyarakat secara merata, justru berpotensi memperkuat kendali elite ini atas sumber daya keuangan desa.
Dengan adanya dana talangan, risiko kegagalan pinjaman tidak sepenuhnya ditanggung oleh koperasi, melainkan oleh Dana Desa itu sendiri. Aturan ini berpotensi menciptakan insentif bagi para pemangku kepentingan yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil risiko tinggi, atau bahkan melakukan penyalahgunaan, dengan keyakinan bahwa utang pada akhirnya akan dibayar oleh uang rakyat.
Dana yang seharusnya untuk kesejahteraan umum bisa dialihkan untuk menutupi kerugian akibat manajemen buruk atau, yang lebih parah, penyelewengan yang disengaja. Penulis berpendapat bahwa tanpa pengawasan yang ketat dan partisipasi masyarakat yang kuat, kebijakan semacam ini hanya akan membuka celah baru bagi praktik rent-seeking dan korupsi, memperparah ketidaksetaraan yang seharusnya diatasi oleh Dana Desa.
Dampak paling nyata dan mendalam dari kebijakan ini adalah potensi gangguan serius terhadap pembangunan desa. Dana Desa yang seyogianya dialokasikan untuk infrastruktur vital seperti jalan desa, irigasi, fasilitas kesehatan dasar, program pemberdayaan masyarakat, atau layanan dasar seperti sanitasi dan air bersih, akan tersedot untuk membayar utang koperasi jika terjadi gagal bayar.
Bayangkan sebuah desa yang telah merencanakan pembangunan jembatan penting untuk akses pertanian, atau program pelatihan keterampilan untuk pemuda, namun tiba-tiba anggaran mereka dipotong untuk menalangi pinjaman KDMP yang macet. Ini bukan hanya menghambat pembangunan fisik, tetapi juga mematikan inisiatif-Musrenbang Desa dan semangat swadaya masyarakat.
Konsekuensinya adalah memperparah ketimpangan di tingkat desa, di mana masyarakat yang paling membutuhkan justru kehilangan akses terhadap manfaat Dana Desa, sementara sumber daya yang terbatas dialihkan untuk menutupi risiko finansial. Ini adalah pukulan telak bagi upaya mencapai keadilan ekonomi di akar rumput.
Menjaga Marwah Koperasi
Secara ideal, koperasi adalah pilar ekonomi kerakyatan, sebuah model yang menjanjikan pemerataan dan pemberdayaan dari bawah. Teori koperasi menekankan prinsip-prinsip swadaya, gotong royong, keanggotaan sukarela dan terbuka, kontrol demokratis oleh anggota, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan kemandirian, serta pendidikan, pelatihan, dan informasi.
Koperasi yang sejati tumbuh dari kebutuhan dan inisiatif kolektif masyarakat, dikelola secara transparan oleh anggotanya, dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Namun, kebijakan pembentukan KDMP yang terkesan "dipaksakan" dari atas, seperti yang dikhawatirkan beberapa pihak, justru berpotensi mengkhianati idealisme koperasi.
Jika koperasi dibentuk bukan atas dasar kebutuhan riil dan inisiatif otentik masyarakat desa, melainkan karena target atau instruksi pemerintah yang bersifat top-down, maka fondasi demokratis dan kemandiriannya akan rapuh. Ini bisa menciptakan "koperasi boneka" yang rentan dimanipulasi oleh elite lokal atau bahkan menjadi alat bagi kepentingan di luar masyarakat desa, jauh dari semangat pemberdayaan yang seharusnya diusung oleh Dana Desa.
Alih-alih memperkuat kapabilitas desa untuk mengelola sumber dayanya sendiri, kebijakan ini justru memusatkan risiko finansial dan berpotensi menciptakan ketergantungan baru pada skema pinjaman yang dijamin pemerintah.
Kedaulatan Desa
Sumber: