Tahun Perusuh

Tahun Perusuh

Oleh: Dahlan Iskan Tutup tahun Dengan gelak bersama Dan derai air mata pribadi Sawit dan batu bara membuat orang kaya raya Dan hatiku berduka *** Hampir saja saya teruskan puisi tutup tahun itu lebih panjang lagi. Tapi terlalu sedih. Duka tidak boleh dibagi. Apalagi di hari menjelang tutup buku happy ending seperti ini. Saya harus move on. Fokus ke Cikeucik. Di Banten Selatan. Di situlah saya tutup tahun ini bersama 21 Perusuh Disway. Istilah ''Perusuh'' itu saya pinjam dari salah satu komentator. Saya lupa siapa komentator pertama yang menciptakan istilah perusuh itu. Mungkin perlu ada yang mengaku. Istilah ''perusuh'', yang saya ingat, tidak ada hubungannya dengan kritik atau permusuhan. ''Perusuh'' di situ adalah gelar untuk komentator yang mengacaukan topik bahasan dengan canda dan plesetan. Itulah sebabnya saya suka dengan istilah ''Perusuh'' –dengan makna khusus seperti itu. Saya khawatir jangan-jangan istilah ''Perusuh'' lama-lama kehilangan lucunya. Maka saya membayangkan kumpul-kumpul para Perusuh ini akan penuh dengan canda, saling gojlok dan tukar nomor telepon. Sayang hanya 20 orang yang terpilih kumpul. Disesuaikan dengan kapasitas kamar yang masih tersedia di Agrinex. Padahal peminat begitu banyak. Terpaksa diundi. Yang terjauh: dari Riau. Atau dari Bali. Juga Palembang. Selebihnya dari Jawa, relatif merata. Rasanya saya sendiri sedikit kagok. Hanya satu orang dari 21 perusuh itu yang saya kenal secara pribadi. Yakni mbak Dipa, si wanita Disway, yang juga relawan Vaksin Nusantara dari Depok. Tentu saya ingin tiba yang pertama di Agrinex ini. Ingin menyambut mereka. Saya sendiri belum pernah ke lokasi itu. Saya ingin segera tahu seperti apa kebun Agrinex. Saya pernah ke Malingping dan sekitarnya, tapi belum pernah ke Cikeusik –sedikit lebih ke Barat dari Malingping. Ternyata saya harus mampir Semarang. Maka rencana berangkat dari Surabaya habis Subuh dimundurkan. Tidak ada gunanya berangkat terlalu pagi. Acara di Semarang itu pukul 10.00. Surabaya-Semarang hanya perlu waktu 3 jam naik mobil. Di Makodam IV Diponegoro itu saya menyerahkan plakat. Salah satu batalyon di Kodam Diponegoro menjadi juara 3 dunia World Cup Barongsai-Naga. Itulah Tim Naga Batalyon Arhanud 15 Diponegoro. Batalyon ini memang punya tim olahraga Barongsai-Naga. Sering ikut kejuaraan nasional. Sering juara. Maka ketika ada kejuaraan dunia, Arhanud 15 yang mewakili Indonesia. Kami mintakan izin ke Pangdam Diponegoro. ''Kami'' yang saya maksud adalah Persobarin, Persatuan Olahraga Barongsai Indonesia. Saya ketua umumnya. Malu. Sudah 20 tahun lebih. Juara pertamanya Tiongkok. Kedua, Macao. Ketiga, Indonesia (Arhanud). Plakat saya serahkan ke Kasdam Brigjen TNI Deddy Suryadi. Hadir para asisten Kodam. Juga Danyon Arhanud 15 Letkol Arh Viky Hereandi. Dari Semarang saya menuju ke kamp Perusuh. Lewat Tegal, Cirebon, Jakarta, dan Pandeglang. Dengar akan lewat Tegal, istri saya intervensi: harus mampir sate Cempe Lemu. Kebetulan hanya 50 meter dari exit tol Tegal. Kebetulan pula sudah berkali-kali nyate di situ. Meski bukan anggota suami takut istri, saya tidak berani menolak permintaannyi. Apalagi didukung Kang Sahidin, Pipit, dan Nicky. Pipit, Anda sudah tahu: panitia camping. Nicky Anda juga sudah tahu: koordinator relawan Vaksin Nusantara Surabaya. Pipit adalah staf khusus direksi JW Marriott Surabaya. Nicky staf khusus di perusahaan Isna Iskan. Syukron, direktur Disway Radar Tegal, memesan 100 tusuk Cempe Lemu. Tambah sop kambing dan gulenya. Pipit terus melihat jam: waktunya segera berangkat ke Cikeusik. Akhirnya kami tiba di Cikeusik paling akhir. Rombongan bus Perusuh sudah tiba di Agrinex pukul 17.00. Pada jam segitu saya masih macet di tol Jakarta. Sambil macet itu saya terusik oleh lalu-lintas komentar di Disway. Akankah hujan badai dan halilintar menyambut para Perusuh? Akankah tenda-tenda di kamp itu akan beterbangan? Apakah ancaman tanah longsor akan jadi bencana akhir tahun? Ataukah semua itu hanya khayalan nakal para Perusuh. Yakni yang iri karena kalah undian. Dengan maksud agar ada yang takut, mengundurkan diri, untuk bisa digantikan? Saya menengok ke langit. Terang. Mendungnya tipis. Pun di langit Banten. Kami juga berunding bagaimana cara mengadakan air panas untuk mandi keesokan harinya. Untuk saya. Juga untuk perusuh yang umurnya sudah mengejar saya. Maka kami sepakat: Kang Sahidin akan membuat tungku darurat. Toh pasti banyak dahan kering di sekitar kamp. Kang Sahidin biasa bakar ikan. Nicky sudah membawa teko besar. Pipit membawa teko yang sama. Rupanya Pipit begitu terpengaruh oleh komentator yang nakal soal air panas. Begitu mendengar bus rombongan tiba lebih dulu, saya langsung minta Pipit edarkan angket lewat HP: bagaimana kesan pertama mereka. Pilihan jawabannya hanya tiga: senang, biasa, kecewa. Tiga orang langsung menjawab: senang. Yang lain tidak segera merespons. Mungkin sibuk cari kamar masing-masing. Ternyata mereka menerima kunci kamar. Bukan disuruh tidur di tenda. Sebagian lagi mungkin sibuk mengecek sekitar kamar: apakah ada kemungkinan didatangi ular, seperti yang diancamkan sebagian komentator. Ternyata langit terang. Tidak hujan. Tidak badai. Tidak ada petir. Entah kalau sudah ada yang datang diam-diam melepaskan ular dekat kamar vila itu. Banten sudah berubah. Sudah ada jalan tol 45 km dari Panimbang ke Pandeglang. Tol baru. Diresmikan Agustus tahun ini. Ini untuk kali pertama saya tahu ada tol menuju Pandeglang. Memang Agrinex masih 2 jam dari mulut tol baru ini. Tapi jam 20.50 saya sudah bisa tiba di lokasi. Tanpa tol baru itu bisa jadi jam 24.00 saya baru tiba ketika mereka sudah terlelap menunggu ular. Perjalanan Surabaya-Cikeusik harusnya melelahkan. Tapi semangat selalu bisa membunuh capek. Apalagi inilah kali pertama saya bersua dengan orang terdekat saya. Gibran, Low Tuck Kwong, Sambo, Messi, Rara, Lesti, Putin, Kebaya Merah mewarnai tahun ini. Pun para Perusuh Disway mewarnai langit Cikeusik. (*)  

Sumber: