Razia Agama
<strong>Oleh: Dahlan Iskan</strong> <strong>PENANDA</strong> jalan ke arah kota Madinah itu berubah. Kata ''Muslims Only'' dihapus. Itu tidak jadi berita di media Arab Saudi, tapi ramai di medsos. Bulan lalu penanda jalan itu masih berbunyi ''Muslims Only''. Kini bunyinya diganti ''To Haram Area''. Tulisan berbahasa Inggris itu ditaruh di bawah tulisan Arab. Yang isinya sama. Warna tulisannya juga berubah. Dulu di tulisan ''Muslims Only'' (muslimun faqot) itu dilatarbelakangi warna oranye. Mencolok. Kini tidak ada lagi warna oranye itu. Seluruh papan penunjuk mengikuti warna standar internasional: biru. Papan penunjuk jalan yang berubah itu dipasang di 15 Km sebelum masuk kota Madinah. Kendaraan sudah diarahkan. Yang jalur tengah ada tanda panah dengan tulisan ''Muslims Only''. Jalur kanan dan kiri panah ke kota lain. Penanda arah itu mencolok karena dipasang melintang di atas jalan. Berarti sejak 15 Km sebelum kota Madinah mobil sudah diarahkan: yang jalur tengah hanya untuk kendaraan yang Moslem. Apakah dengan hilangnya kata ''Muslims Only'' –media di Amerika menyepakati penulisan bahasa Inggris untuk orang Islam adalah ''moslem'' bukan ''muslim'' – berarti non muslim boleh masuk ke kota Madinah? Bukankah Madinah termasuk dua kota Haram –Haramain? Tidak ada penjelasan resmi dari pemerintah. Tapi medsos di sana ramai. Mereka seperti menyepakati bahwa itu bagian dari perubahan yang sedang dilakukan Pangeran Muhammad bin Salman –penguasa sebenarnya di Arab Saudi. Mungkin untuk masuk masjid Madinah tetap dilarang. Sesuai dengan ayat 28 surah At Taubah dalam Quran. Tapi ke Madinah sendiri tidak lagi dilarang. Kalau perubahan itu benar maka akan ramai. Selama ini ada hadis riwayat Imam Muslim yang memasukkan Madinah sebagai tanah haram: ”Sesungguhnya Ibrahim menjadikan Makkah tanah haram, dan sesungguhnya aku menjadikan Madinah tanah haram”. Dalam praktik sebenarnya sulit mengetahui apakah semua yang ke Makkah dan Madinah pasti Muslim. Tidak pernah ada pemeriksaan. Pun ketika penunjuk jalan itu belum diubah. Kalau pun ada pemeriksaan juga tidak akan bisa mengetahui. Di paspor tidak disebut identitas agama. Setelah sekian puluh kali ke Makkah-Madinah saya baru sekali melihat ada pemeriksaan paspor menjelang masuk kota. Itu pun bukan ''razia'' agama, tapi lebih pada pemeriksaan keamanan. Alhasil, larangan bagi nonmuslim itu tidak ada yang mengontrol. Saya pernah dites apakah saya Islam hanya satu kali. Justru di Lebanon. Di bagian kota Beirut yang dikuasai gerakan Mujahidin. Cara mengetesnya sederhana: apakah saya bisa mengucapkan kalimat syahadat. Tentu saya bisa mengucapkannya secara fasih. Dan, karena yang mengetes itu bersenjata, maka sekalian saja saya ucapkan seluruh surat Al Fatihah. Jadi, kalimat ''Muslims Only'' itu diganti atau tidak, rasanya tidak banyak berpengaruh pada praktik sehari-hari. Apalagi kelak –dan sekarang sudah dimulai– kalau visa turis bisa juga digunakan untuk umrah dan haji. Sekarang ini, tutur Ferry Is Mirza pemilik usaha umrah dan haji di Jatim, pemegang tiket pesawat Saudia jurusan mana pun boleh umrah dengan visa on arrival. Jadi, misalkan Anda mau ke Eropa. Naik pesawat Saudia. Anda bisa transit di Saudi untuk umrah. Urus visanya di bandara sana. Alasan utama melarang nonmuslim masuk Makkah dan Madinah adalah karena doktrin orang musyrik dianggap najis. Tapi tafsir ''najis'' di situ juga sangat terbuka. Gus Muiz Aziz, kiai muda dari Pondok Denanyar Jombang mengatakan ini: umumnya ulama dari tiga mazab melarang non-muslim masuk masjid, tapi mazab Hanafi memperbolehkan. "Yang penting tidak menetap di masjid," ujar Gus Muiz yang selalu berambut panjang itu. Makanya di Tiongkok, teman-teman saya yang komunis bebas masuk masjid. Bahkan dipersilakan masuk. Didorong-dorong untuk ikut masuk. Seperti saat saya mengajak para mahasiswa Indonesia di Nanjing bulan puasa lalu. Yakni untuk berbuka puasa di salah satu masjid di sana. Padahal saya sudah memberi tahu pengurus masjid bahwa sebagian mahasiswa itu Kristen dan Buddha. Muslim di Tiongkok memang menganut mazab Hanafi, seperti juga umumnya muslim di Asia Tengah. Di Beirut saya juga ke masjid terkenal di sana. Justru pengurus masjid menyediakan pakaian panjang-longgar untuk wanita non muslim yang datang dengan you can see. Lalu mempersilakan mereka masuk masjid. Yakni untuk melihat-lihat keindahan masjid. Tentu kunjungan turis itu di luar jadwal salat berjamaah dan yang lima waktu. Istiqlal Jakarta juga tidak melarang non muslim masuk Istiqlal. Tapi saya pernah malu. Saya membawa orang Tiongkok yang mengagumi arsitektur masjid Akbar Surabaya. Saya ingin ajak mereka masuk masjid. Ternyata tidak boleh. Saya malu sekali. Saya menghubungi KH Said Aqil Siraj, mantan Ketua Umum PBNU. Kemarin. Sekalian karena kangen. Kami pernah bersama-sama menerbitkan koran berbahasa Indonesia di Mekah. Khusus di musim haji. "Di zaman Nabi Muhammad orang Yahudi pun dibolehkan masuk masjid," katanya. "Piagam Madinah dibikin sejak Nabi awal mula masuk kota Yatsrib. Itu dalam rangka membangun umat yang berperadaban. Bisa hidup bersama dalam perbedaan agama, suku dan ras. Tanpa ada batas apa pun. Yahudi boleh masuk masjid dan di beri kebebasan sama seperti orang Islam. Yang muslim pun tidak dibedakan antara pendatang Muhajirin dan Pribumi Ansor,". "Hanya dalam perkembangannya penduduk Yahudi dianggap berkhianat, lalu diusir semua dari Madinah," tambahnya. Berarti boleh dan tidak juga dipengaruhi keadaan. Saya juga menghubungi Ustad Yusuf Mansyur. Kemarin sore. Ia baru tiba dari Malaysia. "Memang ada banyak pendapat ulama. Ada yang memperbolehkan masuk masjid. Ada yang melarang. Ada pula yang memperbolehkan dengan alasan darurat: misalnya ahli bangunan atau teknik," ujarnya. Yusuf Mansur kini sibuk mengurus persyaratan menjadi calon anggota DPR. Dari Partai Perindo. Dapilnya berat: Jakarta Timur. Ia adalah wakil ketua umum DPP Perindo. Ia di pimpinan Perindo bersama ulama besar Tuan Guru Bajang. Penanda jalan ternyata bisa menjadi indikator perubahan cara beragama. (<strong>Dahlan Iskan</strong>)
Sumber: