IKN Pasakbumi

IKN Pasakbumi

<!-- wp:paragraph --> <p>Oleh: Dahlan Iskan</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>LALU soal pohon Pasak Bumi itu. Yang harus ada di hutan IKN masa depan<br>Sabar.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dari exit tol km 36 itu, ternyata perlu waktu lebih lama dari yang saya perkirakan: 1 jam 10 menit. Berarti dua jam dari jembatan Mahakam Samarinda. Atau 2 jam 40 menit. Kalau dari Bandara Samarinda.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Pun dari Bandara Balikpapan. Masih perlu waktu 1 jam 40 menit. Berarti memakan waktu lebih lama daripada Bandara Narita ke Tokyo. Meski jaraknya lebih dekat. Yang penting saya tiba di pintu gerbang Ibu kota Negara yang baru. Teman saya turun dari mobil. Ke pos penjagaan. Gerbang ini dipasangi portal. Kelihatannya itu portal lama. Yang dibangun perusahaan. Agar truk yang keluar masuk terkontrol.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Truk-truk itu mengangkut kayu. Hasil hutan. Besar-besar. Sejenis trailer. Karena itu jalan masuk ke IKN ini lebar sekali. Itulah jalan yang amat bersejarah. Para pelestari lingkungan menyebut "itulah jalan yang menghancurkan hutan".</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Di masa lalu.<br>Jalan lebar masa lalu itu masih utuh sampai sekarang. Dulu untuk angkut kayu gelondongan yang ditanam Tuhan. Kini untuk truk pengangkut hasil hutan industri. Yakni hutan yang sengaja ditanam untuk dipanen.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dan kini, tahun ini, jalan itu sekalian menjadi akses masuk ke ibu kota negara yang baru. Tanpa melarang truk-truk raksasa itu mondar-mandir di situ.<br>Untuk memasuki IKN, portal PT ITCI itu harus dibuka. Berarti ada prosedur administrasi di pos depan ini. Hanya 3 menit. Setelah proses administrasi selesai, portal dibuka. Posisi portal itu kira-kira 50 meter dari pinggir jalan raya Samarinda-Banjarmasin.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ada ''halaman'' yang cukup luas di depan pos jaga itu. Untuk mobil yang antre melewati portal. Terlihat juga sebuah bus wisata ikut antre di situ.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tidak ada gerbang khusus yang dibangun untuk menandai bahwa Anda memasuki IKN. Mungkin belum. Siapa tahu, kelak,&nbsp; gerbangnya tidak di sini. Bisa saja ini gerbang sementara. Memanfaatkan gerbang perusahaan pemilik lahan di sana.<br>Memang begitu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ini adalah jalan masuk ke kompleks HTI. Luas sekali. Hutan tanaman industri ini, Anda sudah tahu, milik konglomerat Sukanto Tanoto.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Truk-truk besar keluar masuk portal IKN itu. Mengangkut kayu. HTI di IKN ini milik PT ITCI Hutani Manunggal. Sukanto Tanoto hanyalah pemiliknya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Inilah kawasan HTI yang luasnya lebih 160.000 hektare. ITCI, ketika masih dimiliki oleh pengusaha Amerika, melakukan pembabatan hutan di kawasan itu. Tapi ITCI juga melakukan reboisasi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya tidak tahu proses yang terjadi. Belakangan areal ITCI itu menjadi milik Sukanto Tanoto dan Prabowo Subianto. Keduanya meneruskan menanam kayu hutan di situ. Untuk bahan baku pabrik kertas.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Jalan masuk yang lebar ini masih berupa tanah. Dilapisi sirtu. Tidak diaspal. Truk-truk besar akan menghancurkannya.<br>Saya menyusuri jalan masuk itu. Kanan-kirinya penuh pepohonan. Tumbuhnya rapi. Batangnya kecil-kecil. Tinggi-tinggi. Lurus-lurus. Daunnya tidak banyak.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Itulah pohon eucalyptus. Yang sengaja ditanam. Untuk dijadikan bubur pulp. Bahan baku kertas.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Melihat tingginya, pohon eucalyptus di jalan masuk ini sudah berumur sekitar 4 tahun. Ia akan ditebang di umur 6 tahun. Dipanen. Kayunya diangkut ke Palalawan di Riau. Di situlah Tanoto punya pabrik pulp dan pabrik kertas yang sangat besar –bersaing besar dengan pabrik pulp dan kertas milik Sinar Mas.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Deretan pohon tinggi itu pun lewat. Pemandangan berikutnya adalah pohon-pohon muda. Baru berumur sekitar 2 tahun. Berarti pohon yang lama sudah dipanen.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Di area berikutnya terlihat tanaman eucalyptus yang sudah lebih besar. Sudah berumur 3 tahun. Begitulah. Selalu ada yang ditebang, selalu pula ada yang baru ditanam.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Perjalanan di dalam kompleks inti IKN ini pun mencapai 10 menit. Sampailah saya di "menara Eiffel". Yakni tower kerangka besi yang tingginya melebihi pohon. Tower itu mencolok. Menjulang. Warnanya kuning.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sudah vintage. Sejak Orba. Yang meresmikan dulu adalah Mensesneg Soedarmono yang juga ketua umum Golkar.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>berarti tower itu sudah sangat tua. "Sudah tidak boleh lagi dinaiki," ujar petugas di situ. Dulunya tower tersebut untuk petugas pengawas: untuk mendeteksi kebakaran hutan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya berhenti di bawah tower itu –yang kini juga termasuk kawasan inti IKN. Tower ini bisa jadi ikon darurat IKN.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ketika kami berhenti di situ, terlihat dua tronton besar datang dari arah depan nan jauh. Mereka mengangkut kayu tebangan. Berarti jalan besar ini masih berlanjut sampai jauh di sana. Jauh sekali.<br>"Kalau saya terus ke sana, jalan ini sampai di mana?" tanya saya.<br>"Sampai di kawasan HTI-nya Pak Prabowo," ujar petugas itu.<br>Apakah IKN mencakup kawasan milik Pak Prabowo?<br>"Tidak," katanya. Berarti benar, IKN tidak menggunakan tanah Prabowo.<br>Tanah Tanoto pun tidak diambil IKN semua. ''Hanya'' diambil 42.000 hektare. Tidak sampai sepertiganya.<br>Yang diambil lebih besar adalah kawasan hutan milik negara: Tahura Bukit Soeharto. Hanya saja Tahura itu tidak masuk kawasan inti. Kawasan inti IKN ya di HTI-nya Sukanto Tanoto itu.<br>Saya sengaja tidak langsung ke Titik Nol. Saya ingin melihat kawasan IKN yang lebih luas. Titik Nol-nya sendiri sudah lewat. Lebih dekat dengan portal di pintu masuk tadi.<br>Maka setelah meninjau langsung IKN ini kesan saya banyak berubah. Kenyataannya ternyata jauh berbeda dengan yang saya bayangkan.<br>Pertama, ternyata IKN tidak di pedalaman hutan. Ia di pinggir jalan raya Samarinda-Banjarmasin. Yang sudah cukup padat dengan lalu-lintas truk pengangkut kelapa sawit.<br>Kedua, ternyata IKN bukan di tengah hutan alam. Ia ''hanya'' di tengah hutan tanaman industri. Hutannya mono kultur. Yang variasi umur pohonnya antara 0 tahun sampai maksimum 6 tahun. Dengan demikian tidak ada pohon-pohon besar, tinggi dan liar.<br>Maka tidak perlu ada hutan yang harus dilestarikan oleh IKN. Saya justru berpikir IKN harus menciptakan hutan baru. Yang didesain secara khusus.<br>Berarti biaya IKN akan lebih besar lagi: menciptakan hutan baru. Hutan yang ada sama sekali tidak bisa dipertahankan. Karena itu sampai sekarang pun belum ada larangan menebang kayu di HTI di situ.<br>Berarti akan ada pergantian jenis hutan di IKN. Atau cukup diganti dengan taman kota. Entahlah.<br>Rasanya sudah waktunya universitas setempat –Universitas Mulawarman– mengajukan konsep menghutankan IKN secara benar. Unmul memiliki fakultas kehutanan yang sangat kuat. Kehutanan adalah unggulan Unmul sejak pertama didirikan.<br>Itu kalau belum keduluan usulan dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.<br>Terserah. Bisa dulu-duluan. Bisa juga kerja bersama.<br>Rasanya benar-benar tidak mungkin IKN mempertahankan hutan yang ada sekarang –yang monoton itu. Alangkah idealnya kalau Unmul mengusulkan hutan campuran tanaman asli Kalimantan Timur: kayu Ulin, Bengkirai, Meranti Merah, Meranti Putih, Kruing dan… jangan lupa pohon Pasak Bumi.<br>Semua jenis pohon itu pernah jadi ''emas hijau'' di Kaltim. Yang meski tidak banyak menghasilkan pembangunan di daerah tapi telah menciptakan banyak orang kaya di Jakarta dan Surabaya. Juga di Singapura. Dan di Malaysia.<br>Kayu-kayu itu kini mulai langka. Siapa tahu Unmul bisa dipercaya menghutankan IKN dengan kenangan masa nan lalu. Jangan lupa diperbanyak yang jenis Pasak Bumi –siapa tahu penghuni IKN kelak perlu lebih banyak obat kuat. (*)</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Komentar Pilihan Disway*<br>Edisi 6/5: IKN Portal</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Agus Suryono<br>WAWANCARA BAPAK VS ANAK Nak, kamu pingin punya ibu baru gak..? Tidak.. Padahal kamu kan juga perlu supaya ada yang ngurus kamu.. Saya tidak pingin pak. Tapi saya pingin Bapak punya isteri baru.. Lho.. Supaya Bapak ada yang melayani. Dan ada yang menemani glenak glenik, kalau malam.. Ha ha.. Kamu bisa aja.. Tapi kalau nyari ibu, yang cantik dan muda ya pak.. Kenapa..? Ibu dan ibukota itu sama pak. Kalau cantik, semua warga kota ikut menikmatinya.. Huss..!!</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Agus Suryono<br>SYARAT IBU (KOTA) BARU 1. Harus lebih cantik dibanding yang lama 2. Harus lebih sexy (lebih menarik) 3. Harus leb8h modern 4. Harus lebih canggih 5. Tidak macet 6. Tidak banjir 7. Belum "menpause"</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Lukman bin Saleh<br>Kelas Kalimantan sj yg msh luas tanahnya. Udah berantakan begitu pemukiman. Apalagi d kota2 yg memang krisis lahan. Apa kita memang tdk peduli dg keindahan dan keteraturan, sehingga kekumuhan menjadi sesuatu yg lumrah. Pun disituasi yg memungkinkan untuk dibuat cantik. Halo pemerintah. Ayolah. Seriuslah sedikit memikirkan masalah ini…</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>daeng romli<br>Episode pertama ini bukan tentang IKN, tp perjalanan Abah dan pemandangan selama dlm perjalanan (sdh saya duga kemarin). Dugaan saya utk Episode kedua kira2 juga sama, klo mbleset paling2 gak sampai 50%. hehehehee…. Wes ngono ae ……</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>LiangYangAn 梁楊安<br>"The most difficult thing is the decision to act, the rest is merely tenacity." (Amelia Mary Earhart). Hal yang paling sulit adalah membuat keputusan, selebihnya hanyalah keuletan. Seperti yang pernah ditulis oleh Mister Xi : ….. apabila mereka ingin melakukannya, maka mereka akan mencari caranya. Keputusan yang sulit itu sudah diambil oleh Presiden Joko Widodo dengan segala konsekuensinya. Selanjutnya Keuletan dan Kejujuran bekerja yang akan membuktikan hasilnya. Ibarat Nasi sudah menjadi Bubur (IKN sudah disahkan oleh DPR) tinggal bagaimana "bubur ini dapat dimanfaatkan untuk makan siang" supaya tidak sia-sia ; tinggal bagaimana IKN ini supaya bermanfaat dalam segala aspek untuk Bangsa Indonesia ke depannya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>No Name<br>Sesuatu yang umum di Kalimantan, tempat yang ada jalan raya pemandangannya tidak indah, tempat yang pemandangannya indah tidak ada jalan raya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>omami clan<br>Hampir setiap pembangunan punya efek samping yang positif dan kurang positif, misal ikn bisa memeratakan pembangunan yang tadinya terasa tersentral tapi juga ada kelompok yang tidak tersentuh bau kue pembangunan jg mungkin kondisi alam akan sedikit berubah Tinggal pemangku kebijakan mengevaluasi mana prioritas utamanya dan meminimalisir kelompok yang termarjinalkan Tanpa pembangunan kita seperti jalan di tempat tp jangan juga berlari cepat dengan menginjak semua hingga rusak berantakan demi laju sebuah pembangunan</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Jokosp Sp<br>Team IT tolong dicek link nya, Baca juga : Ibu Kota Sepaku. Begitu saya klik kok lari ke " Regenerasi Tanpa Lewati Masa Depresi ala Real Madrid " ? Dua kali klik tetep saja ke situ link nya. Wah nge PRANK yaaaaaa ?</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tuan Sumartan<br>Gimana rasanya Bah.. Napak tilas di tempat yg begitu berkesan setelah puluhan tahun yg lalu, yang dulu masih miskin dengan sepeda tuanya dan sekarang dengan pakai mobil sport SUV yg mewah, tentu ada rasa sedih, ngenes, bahagia, bangga dan tentunya rasa syukur yg amat sangat, ijin bah hanya membayangkan saja.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>No Name<br>Kenapa judulnya IKN Portal, kenapa bukan Portal IKN? Portal IKN = portal-nya IKN IKN Portal = IKN-nya portal lah, portal ini negara mana, koq punya IKN baru? :D</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Johannes Kitono<br>Kalau hanya membaca judul IKN Portal , orang akan mengira bahwa ibukotanya bernama Portal. Padahal sudah resmi IKN Nusantara. Dan titik nolnya sudah ditentukan sampai Presiden Jokowi camping disana. Tidak jelas apakah penentuan titik nol itu berdasarkan wangsit atau bantuan Rara Mandalika asal Bali. Anda dan saya pasti tidak tahu.Bisa jadi jarak antar kota di IKN Nusantara mulai dihitung mulai dari titik nol. Menurut Gubernur Ali Sadikin, mantan gubernur yang terkenal dengan nama Bang Ali.Oleh Belanda yang pernah menjajah Indonesia, titik nol itu dihitung dari Kantor Pos. Jadi jarak kota Jakarta dan Bogor dihitung dari Kantor Pos Jakarta di Pasar Baru dengan Kantor Pos Bogor didekat Istana Bogor. Tentu dengan perkembangan kota, seperti adanya jalan Toll otomatis jaraknya juga jadi berubah.Apakah nanti Kantor Pos IKN Nusantara juga dibangun di Titik Nol ? Mungkin Titik Puspa, Titik Hamzah,Titik Sandhora dan Titik Kamal sesama pemilik nama "Titik" bisa info ke Bambang Susantono, juragan pertama IKN Nusantara.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>No Name<br>Pindahan Disway versi lama ke versi baru mirip seperti pindah ibukota. Dipaksa meninggalkan kemapanan-kemapanan yg sudah ada. Tahta pertamax yg diperebutkan sudah tidak ada. Tahta 4 yg sakral juga raib. Kapak Nagageni dan Djie Sam Soe tidak jadi rebutan lagi karena dengan rumah baru ini komen belum bisa menembus angka 300. Boyongan Disway jg menceraiberaikan persahabatan yg dulu sudah terbangun. Kita kehilangan banyak sahabat. Kenapa mereka tidak ikut boyongan Disway ? Di Disway model baru ini kita mulai mencari teman baru lagi. Lingak-linguk cari-cari kawan lama.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ujang Wawa<br>Baca deskripsi stadion Palaran, saya jadi ingat filosofi dosen saya"Membangun itu bisa,tapi merawat kita belum bisa" &amp;"Nikah itu gampang(dulu), menafkahi yang sulit"</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p><em>) Diambil dari komentar pembaca http://disway.id yang luasnya&nbsp; lebih 160.000 hektare. ITCI, ketika masih dimiliki oleh pengusaha Amerika, melakukan pembabatan hutan di kawasan itu. Tapi ITCI juga melakukan reboisasi. Saya tidak tahu proses yang terjadi. Belakangan areal ITCI itu menjadi milik Sukanto Tanoto dan Prabowo Subianto. Keduanya meneruskan menanam kayu hutan di situ. Untuk bahan baku pabrik kertas. Jalan masuk yang lebar ini masih berupa tanah. Dilapisi sirtu. Tidak diaspal. Truk-truk besar akan menghancurkannya. Saya menyusuri jalan masuk itu. Kanan-kirinya penuh pepohonan. Tumbuhnya rapi. Batangnya kecil-kecil. Tinggi-tinggi. Lurus-lurus. Daunnya tidak banyak. Itulah pohon eucalyptus. Yang sengaja ditanam. Untuk dijadikan bubur pulp. Bahan baku kertas. Melihat tingginya, pohon&nbsp; eucalyptus di jalan masuk ini sudah berumur sekitar 4 tahun. Ia akan ditebang di umur 6 tahun. Dipanen. Kayunya diangkut ke Palalawan di Riau. Di situlah Tanoto punya pabrik pulp dan pabrik kertas yang sangat besar –bersaing besar dengan pabrik pulp dan kertas milik Sinar Mas. Deretan pohon tinggi itu pun lewat. Pemandangan berikutnya adalah pohon-pohon muda. Baru berumur sekitar 2 tahun. Berarti pohon yang lama sudah dipanen. Di area berikutnya terlihat tanaman eucalyptus yang sudah lebih besar. Sudah berumur 3 tahun. Begitulah. Selalu ada yang ditebang, selalu pula ada yang baru ditanam. Perjalanan di dalam kompleks inti&nbsp; IKN ini pun mencapai 10 menit. Sampailah saya di "menara Eiffel". Yakni tower kerangka besi yang tingginya melebihi pohon. Tower itu mencolok. Menjulang. Warnanya kuning. Sudah vintage. Sejak Orba. Yang meresmikan dulu adalah Mensesneg Soedarmono yang juga ketua umum Golkar. Berarti tower itu sudah sangat tua. "Sudah tidak boleh lagi dinaiki," ujar petugas di situ. Dulunya tower tersebut untuk petugas pengawas: untuk mendeteksi kebakaran hutan. Saya berhenti di bawah tower itu –yang kini juga termasuk kawasan inti IKN. Tower ini bisa jadi ikon darurat IKN. Ketika kami berhenti di situ, terlihat dua tronton besar datang dari arah depan nan jauh. Mereka mengangkut kayu tebangan. Berarti jalan besar ini masih berlanjut sampai jauh di sana. Jauh sekali. "Kalau saya terus ke sana, jalan ini sampai di mana?" tanya saya. "Sampai di kawasan HTI-nya Pak Prabowo," ujar petugas itu. Apakah IKN mencakup kawasan milik Pak Prabowo? "Tidak," katanya. Berarti benar, IKN tidak menggunakan tanah Prabowo. Tanah Tanoto pun tidak diambil IKN semua. ''Hanya'' diambil 42.000 hektare. Tidak sampai sepertiganya. Yang diambil lebih besar adalah kawasan hutan milik negara: Tahura Bukit Soeharto. Hanya saja Tahura itu tidak masuk kawasan inti. Kawasan inti IKN ya di HTI-nya Sukanto Tanoto itu. Saya sengaja tidak langsung ke Titik Nol. Saya ingin melihat kawasan IKN yang lebih luas. Titik Nol-nya sendiri sudah lewat. Lebih dekat dengan portal di pintu masuk tadi. Maka setelah meninjau langsung IKN ini kesan saya banyak berubah. Kenyataannya ternyata jauh berbeda dengan yang saya bayangkan. Pertama, ternyata IKN tidak di pedalaman hutan. Ia di pinggir jalan raya Samarinda-Banjarmasin. Yang sudah cukup padat dengan lalu-lintas truk pengangkut kelapa sawit. Kedua, ternyata IKN bukan di tengah hutan alam. Ia ''hanya'' di tengah hutan tanaman industri. Hutannya mono kultur. Yang variasi umur pohonnya antara 0 tahun sampai maksimum 6 tahun. Dengan demikian tidak ada pohon-pohon besar, tinggi dan liar. Maka tidak perlu ada hutan yang harus dilestarikan oleh IKN. Saya justru berpikir IKN harus menciptakan hutan baru. Yang didesain secara khusus. Berarti biaya IKN akan lebih besar lagi: menciptakan hutan baru. Hutan yang ada sama sekali tidak bisa dipertahankan. Karena itu sampai sekarang pun belum ada larangan menebang kayu di HTI di situ. Berarti akan ada pergantian jenis hutan di IKN. Atau cukup diganti dengan taman kota. Entahlah. Rasanya sudah waktunya universitas setempat –Universitas Mulawarman– mengajukan konsep menghutankan IKN secara benar. Unmul memiliki fakultas kehutanan yang sangat kuat. Kehutanan adalah unggulan Unmul sejak pertama didirikan. Itu kalau belum keduluan usulan dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Terserah. Bisa dulu-duluan. Bisa juga kerja bersama. Rasanya benar-benar tidak mungkin IKN mempertahankan hutan yang ada sekarang –yang monoton itu. Alangkah idealnya kalau Unmul mengusulkan hutan campuran tanaman asli Kalimantan Timur: kayu Ulin, Bengkirai, Meranti Merah, Meranti Putih, Kruing dan… jangan lupa pohon Pasak Bumi. Semua jenis pohon itu pernah jadi ''emas hijau'' di Kaltim. Yang meski tidak banyak menghasilkan pembangunan di daerah tapi telah menciptakan banyak orang kaya di Jakarta dan Surabaya. Juga di Singapura. Dan di Malaysia. Kayu-kayu itu kini mulai langka. Siapa tahu Unmul bisa dipercaya menghutankan IKN dengan kenangan masa nan lalu. Jangan lupa diperbanyak yang jenis Pasak Bumi –siapa tahu penghuni IKN kelak perlu lebih banyak obat kuat. (</em>)</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Komentar Pilihan Disway*<br>Edisi 6/5: IKN Portal</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Agus Suryono<br>WAWANCARA BAPAK VS ANAK Nak, kamu pingin punya ibu baru gak..? Tidak.. Padahal kamu kan juga perlu supaya ada yang ngurus kamu.. Saya tidak pingin pak. Tapi saya pingin Bapak punya isteri baru.. Lho.. Supaya Bapak ada yang melayani. Dan ada yang menemani glenak glenik, kalau malam.. Ha ha.. Kamu bisa aja.. Tapi kalau nyari ibu, yang cantik dan muda ya pak.. Kenapa..? Ibu dan ibukota itu sama pak. Kalau cantik, semua warga kota ikut menikmatinya.. Huss..!!</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Agus Suryono<br>SYARAT IBU (KOTA) BARU 1. Harus lebih cantik dibanding yang lama 2. Harus lebih sexy (lebih menarik) 3. Harus leb8h modern 4. Harus lebih canggih 5. Tidak macet 6. Tidak banjir 7. Belum "menpause"</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Lukman bin Saleh<br>Kelas Kalimantan sj yg msh luas tanahnya. Udah berantakan begitu pemukiman. Apalagi d kota2 yg memang krisis lahan. Apa kita memang tdk peduli dg keindahan dan keteraturan, sehingga kekumuhan menjadi sesuatu yg lumrah. Pun disituasi yg memungkinkan untuk dibuat cantik. Halo pemerintah. Ayolah. Seriuslah sedikit memikirkan masalah ini…</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>daeng romli<br>Episode pertama ini bukan tentang IKN, tp perjalanan Abah dan pemandangan selama dlm perjalanan (sdh saya duga kemarin). Dugaan saya utk Episode kedua kira2 juga sama, klo mbleset paling2 gak sampai 50%. hehehehee…. Wes ngono ae ……</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>LiangYangAn 梁楊安<br>"The most difficult thing is the decision to act, the rest is merely tenacity." (Amelia Mary Earhart). Hal yang paling sulit adalah membuat keputusan, selebihnya hanyalah keuletan. Seperti yang pernah ditulis oleh Mister Xi : ….. apabila mereka ingin melakukannya, maka mereka akan mencari caranya. Keputusan yang sulit itu sudah diambil oleh Presiden Joko Widodo dengan segala konsekuensinya. Selanjutnya Keuletan dan Kejujuran bekerja yang akan membuktikan hasilnya. Ibarat Nasi sudah menjadi Bubur (IKN sudah disahkan oleh DPR) tinggal bagaimana "bubur ini dapat dimanfaatkan untuk makan siang" supaya tidak sia-sia ; tinggal bagaimana IKN ini supaya bermanfaat dalam segala aspek untuk Bangsa Indonesia ke depannya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>No Name<br>Sesuatu yang umum di Kalimantan, tempat yang ada jalan raya pemandangannya tidak indah, tempat yang pemandangannya indah tidak ada jalan raya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>omami clan<br>Hampir setiap pembangunan punya efek samping yang positif dan kurang positif, misal ikn bisa memeratakan pembangunan yang tadinya terasa tersentral tapi juga ada kelompok yang tidak tersentuh bau kue pembangunan jg mungkin kondisi alam akan sedikit berubah Tinggal pemangku kebijakan mengevaluasi mana prioritas utamanya dan meminimalisir kelompok yang termarjinalkan Tanpa pembangunan kita seperti jalan di tempat tp jangan juga berlari cepat dengan menginjak semua hingga rusak berantakan demi laju sebuah pembangunan</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Jokosp Sp<br>Team IT tolong dicek link nya, Baca juga : Ibu Kota Sepaku. Begitu saya klik kok lari ke " Regenerasi Tanpa Lewati Masa Depresi ala Real Madrid " ? Dua kali klik tetep saja ke situ link nya. Wah nge PRANK yaaaaaa ?</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tuan Sumartan<br>Gimana rasanya Bah.. Napak tilas di tempat yg begitu berkesan setelah puluhan tahun yg lalu, yang dulu masih miskin dengan sepeda tuanya dan sekarang dengan pakai mobil sport SUV yg mewah, tentu ada rasa sedih, ngenes, bahagia, bangga dan tentunya rasa syukur yg amat sangat, ijin bah hanya membayangkan saja.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>No Name<br>Kenapa judulnya IKN Portal, kenapa bukan Portal IKN? Portal IKN = portal-nya IKN IKN Portal = IKN-nya portal lah, portal ini negara mana, koq punya IKN baru? :D</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Johannes Kitono<br>Kalau hanya membaca judul IKN Portal , orang akan mengira bahwa ibukotanya bernama Portal. Padahal sudah resmi IKN Nusantara. Dan titik nolnya sudah ditentukan sampai Presiden Jokowi camping disana. Tidak jelas apakah penentuan titik nol itu berdasarkan wangsit atau bantuan Rara Mandalika asal Bali. Anda dan saya pasti tidak tahu.Bisa jadi jarak antar kota di IKN Nusantara mulai dihitung mulai dari titik nol. Menurut Gubernur Ali Sadikin, mantan gubernur yang terkenal dengan nama Bang Ali.Oleh Belanda yang pernah menjajah Indonesia, titik nol itu dihitung dari Kantor Pos. Jadi jarak kota Jakarta dan Bogor dihitung dari Kantor Pos Jakarta di Pasar Baru dengan Kantor Pos Bogor didekat Istana Bogor. Tentu dengan perkembangan kota, seperti adanya jalan Toll otomatis jaraknya juga jadi berubah.Apakah nanti Kantor Pos IKN Nusantara juga dibangun di Titik Nol ? Mungkin Titik Puspa, Titik Hamzah,Titik Sandhora dan Titik Kamal sesama pemilik nama "Titik" bisa info ke Bambang Susantono, juragan pertama IKN Nusantara.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>No Name<br>Pindahan Disway versi lama ke versi baru mirip seperti pindah ibukota. Dipaksa meninggalkan kemapanan-kemapanan yg sudah ada. Tahta pertamax yg diperebutkan sudah tidak ada. Tahta 4 yg sakral juga raib. Kapak Nagageni dan Djie Sam Soe tidak jadi rebutan lagi karena dengan rumah baru ini komen belum bisa menembus angka 300. Boyongan Disway jg menceraiberaikan persahabatan yg dulu sudah terbangun. Kita kehilangan banyak sahabat. Kenapa mereka tidak ikut boyongan Disway ? Di Disway model baru ini kita mulai mencari teman baru lagi. Lingak-linguk cari-cari kawan lama.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ujang Wawa<br>Baca deskripsi stadion Palaran, saya jadi ingat filosofi dosen saya"Membangun itu bisa,tapi merawat kita belum bisa" &amp;"Nikah itu gampang(dulu), menafkahi yang sulit"</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>*) Diambil dari komentar pembaca http://disway.id</p> <!-- /wp:paragraph -->

Sumber: