Indonesia dalam Genggaman Raja Bukan Presiden
<strong>Oleh: Fahrul Dason</strong> <strong>SEJARAH Lahirnya Republik</strong> Republik lahir dari polis negara di Yunani tepatnya kota Athena yang dalam sejarah filsafat diperkirakan bermula pada pra era sokrates tepatnya 'kaum sofis', yang dalam bahasa latin "res Publica" berarti "urusan publik." Dan juga zaman inilah muncul demokratis di Yunani sekitar abad 5 dimana saat itu untuk menentukan nomos atau aturan ditandai pada wewenang manusia, sebab manusia dianggap baik dan adil. Berbeda dengan masa mashab milesian yang mana untuk menentukan nomos itu sendiri didasari pada hukum alami atau hukum kehidupan. Kondisi inilah pertama kali muncul yang kita kenal dengan sebutan undang-undang karena kaum sofis memandang seyogyanya nomos itu tidak hanya secara de facto tetapi juga harus secara de jure. Karena manusia memiliki kekuasaan penuh maka manusia harus diatur dalam undang-undang dengan dasar bahwa manusia ini adalah segala-galanya, manusia bisa menyebabkan kekerasan, bahkan sampai pada nihilisme. Republik kemudian berkembang dan diterapkan di masa Roma sekitar abad 509 hingga 27 abad SM dan ini menjadi salah satu bentuk demokrasi paling awal dalam sejarah dunia, munculnya republik ini akibat adanya pergulingan kekaisaran Romawi pada saat itu, sehingga terjadi kekosongan kekuasaan yang menjadi cikal bakal dari para bangsawan melalukan perundingan untuk membentuk republik dan mendirikan majelis. Majelis ini yang kemudian memutuskan nomos dan pemerintahan atas nama penduduk romawi. Dalam banyak literatur sejarawan sepakat bahwa perubahan ini semua akibat pergolakan politik antara kaum bangsawan dan militer, perubahan ini berlangsung sekitar 200 tahun lamanya. Pemerintahan awal republik Romawi ini berjalan dibawa kepemimpinan kepala pemerintah dengan dibantu oleh senat. Senat tersebut bertugas sebagai penasehat. Secara ideal tugas senat republik ini hanya sebagai penasehat saja. Namun dalam prakteknya kala itu, senat republik mengambil peran yang berafiliasi dengan pelbagai para bangsawan sehingga yang hanya bisa mendapatkan jabatan saat itu hanya diberikan kepada para bangsawan, pada tataran sosial. Alhasil kelompok militer secara kolektif memprotes kebijakan senat republik di luar tembok Romawi. Republik juga biasa dijadikan sebagai pandangan yang dapat mengarah pada ideologi, sehingga beberapa partai dunia menggunakan republik ini sebagai gerakan anti-monarkisme, maka negara yang republikan sangat menolak keras adanya sistem monarkisme, monarkisme sendiri hadir pada zaman dahulu karena rakyat berada pada kesadaran mitos awal yang menganggap bahwa raja yang lahir atau keturunan darah biru adalah rainkarnasi dari para dewa-dewi sehingga suara raja adalah suara dewa. <strong>Republik-Monarki</strong> Gejolak sejarah Republik Romawi di atas dalam kancah perpolitikan nyaris memiliki kesamaan yang terjadi di Indonesia, kita mencoba menelisik zaman orde baru (orba) yang dipimpin oleh pemimpin otoriter melalui surat perintah sebelas Maret (Supersemar), menuju reformasi dalam perjalanan menuju kekuasaan otoriter ada pergolakan pelbagai oligart dan para militer yang kita kenal dengan G30SPKI, pada dasarnya dari zaman Romawi sampai sekarang pejabat yang berada pada lingkaran kekuasaan didasari pada kepentingan kelompok dan ideologi. Oleh karenanya para bangsawan atau konglomerat kala itu ingin mempertahankan kekuasaan dan bisnisnya melalui politik. Sementara itu disisi lain, Undang-undang dasar 1945 (UUD 1945) telah menegasikan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan Republik Indonesia dengan sistem demokrasi. Namun ironisnya praktek yang dilakukan dari awal orientasi perjalanan demokrasi hingga sekarang yang digunakan hanya dibungkus dengan otoritarian atau demokrasi-otoritarian. Padahal sejak peralihan kekuasaan dari orde baru ke reformasi telah memberikan sebuah ultimatum dengan bunyi bersatu, berdaulat, dan berlaku adil untuk semua rakyat Indonesia tanpa mengenal perbedaan SARA termasuk adil dan setara di mata hukum. Seharusnya sistem reformasi yang telah diciptakan menjadi solusi atas konflik sebelumnya tidak membuahkan hasil. Pasalnya sangat banyak kasus-kasus tidak mencerminkan cita-cita dari reformasi. Seperti, Kasus Rempang, kasus Papua, kasus bara-baraya, kasus agraria kabupaten takalar galesong. Sementara pada sisi kedaulatan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 2, dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Lalu dari implementasinya justru rakyat dibungkam, berdaulat itu adalah bukan tentang negara yang diakui kemerdekaannya tetapi apakah negara menjaga hak asasi manusia dan memberikan hak warga negara?. Marsinah seorang buruh pabrik yang terbunuh hanya karena marsinah dan rekannya meminta haknya dalam demonstrasi akibat tidak dinaikkan upah gaji para buruh, Penculikan aktivis 98 yang sampai saat ini masih seperti gundukan es yang dasarnya tidak kelihatan, masih banyak lagi yang terjadi. Terlebih pada penegakan hukum yang masih tajam ke bawah tumpul ke atas mencerminkan diskriminasi serta tidak sejalan dengan prinsip "equality before of law" yang dijadikan sebagai asas dalam hukum. Bahkan hukum hanya dijadikan alat untuk mempertahan kepentingan atau kekuasaan. Kenyataan pada hari ini yang sangat disoroti adalah kasus mahkamah konstitusi (MK) yang menggunakan otoritas kekuasaan dalam meloloskan salah satu cawapres, kasus yang sangat tragis secara moral bahkan tidak ada dalam sejarah demokrasi manapun, kasus seperti ini hanya bisa kita dapatkan dalam sistem kerajaan. Bedanya sistem kerajaan akan diwariskan oleh keturunan darah biru, namun di Indonesia diwariskan pada darah kotor atau warisan anak haram konstitusi. Kasus Mahkamah Konstitusi bukan hanya sebagai kasus bentuk otoriter pemimpin tetapi kasus ini juga adalah kasus pelanggaran HAM, sebab putusan MK ini hanya bertujuan untuk satu orang pemuda anak dari presiden, juga ini bagian untuk melanggengkan kekuasaan yang ditolak untuk maju tiga periode dan ini bagian dari strategi pada putusan MK ini adalah plan B dari presiden untuk menjaga supaya tetap mengawasi lalu mengambil peran dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, kita bisa menyebutnya machiavelli Jawa ini sebagai "king maker" yang pragmatis menghalalkan segala cara demi kekuasaan. Betapa kerasnya intervensi kekuasaan terhadap hukum sampai tidak mempedulikan lagi etik, 'ndasmu etik' Indonesia tidak layak dipimpin oleh pemimpin yang tidak memiliki etikabilitas personaliti. Kasus ini membuktikan bahwa keadilan hukum hanya diperoleh bagi pemegang kekuasaan. Dari awal yang menjadi polemik bagi kita adalah terlalu banyaknya nepotisme dan kolusi yang terjadi, ketua MK Anwar Usman adalah ipar dari presiden, lalu ini bukan tentang keraguan kita terhadap disiplin ilmunya tetapi dengan hubungan emosionalnya bersama presiden yang sangat dekat, Kahlil Gibran pernah mengatakan "Kita memilih kegembiraan atau kesusahan, jauh sebelum kita mengalaminya", presiden berpikir untuk menjadi otoriter sebelum dia melakukannya. Maka 'pikiran yang otoriter akan menghasilkan tindakan otoriter pula, pikiran yang demokratis akan menghasilkan tindakan yang demokratis juga'. <strong>Kutu Politik Dasar Kepentingan</strong> Politik pada dasarnya tidak terpisahkan dalam kehidupan, apa yang kita lakukan dalam kehidupan semua berkaitan dengan politik, juga dalam politik memiliki momentum pesta ketika menjelang masa pemilu sebagai pesta demokrasi dan masa-masa menunjukkan kepentingan melalui bawa meja kebusukan. Mulai dari para kapitalis sampai para militer dan polisi semua elemen tersebut digunakan dalam menuju kemenangan, bagi jabatan sampai bagi-bagi kepentingan untuk mempertahankan kekuasaannya masing-masing, datang ketika rakyat tidak memiliki isi perut, ketika isi dapur sudah tidak ada. Relawan-relawan yang cuma dihargai nasi kotak rela mempertaruhkan idealisnya, ikut dalam kampanye-kampanye para paslon yang sekedar saling ajak-mengajak hanya pemburu nasi kotak belaka. Sungguh kejam kepentingan politik, menggunakan berbagai banyak unsur demi kekuasaan, lalu apa yang kita kejar dalam politik? Seharusnya politik sebagai alat untuk kesejahteraan masyarakat, namun dijadikan sebagai alat mencapai kekuasaan, kasus nepotisme dan kolusi yang terjadi sebenarnya dalam kasus Mahkamah konstitusi bukan sekali terjadi, Mulai dari pendidikan, kesehatan, masuk akademi polisi dan militer semua menggunakan orang dalam atau nepotisme dan kolusi ini biasanya alat yang digunakan adalah uang, semakin kita mampu membayar mahal dan memiliki banyak modal kita bisa membeli semua yang ada di Indonesia, kasus Indonesia ini sama dengan kasus pada saat berdirinya Republik Romawi, para orang-orang kaya Romawi memanfaatkan senat republik untuk bisa memilih dan mendapatkan jabatan melalui senat republik, kurang lebih jika dibandingkan di Indonesia Senat republik ini sebagai DPR yang seharusnya mengevaluasi kinerja pemimpin negara, namun. Kongkalikong antara pemimpin dan Para dewan yang dipilih oleh rakyat hanya membawa misi partainya masing-masing dan misi itu hanya ingin sampai pada absolutisme kekuasaan. Negara Indonesia sebagai paru-paru dunia diisi oleh banyak kalangan dari berbagai kelompok yang didasari pada kepentingan-kepentingan, kekurangannya adalah kurangnya keikhlasan untuk mengabdi, beberapa dari mereka yang telah diberikan otoritas dalam melakukan pemberantasan justru mereka sendiri yang menjadi pelakunya, kita mengingat kembali kasus pelanggaran korupsi di Indonesia sudah tidak terhitung lagi dan bahkan ketua komisi pemberantasan korupsi (KPK) firli bahuri sebagai tersangka dugaan pemerasan, lalu pada kasus ini siapa lagi yang bisa kita percaya? aneh tapi nyata inilah Indonesia penuh dengan orang-orang amoral, Indonesia yang lahir dari perjuangan dan pemikiran telah pudar akibat pemimpin-pemimpin negara sangat bersikeras untuk menjadi tangan besi dan membuat kerajaannya masing-masing. Pada kontestasi politik yang akan dilakukan tentu kita semua berharap bahwa hadir pemimpin yang ikhlas dan menjadikan politik ini sebagai high politics, bonus demografi yang selalu kita gaungkan tidak akan bisa terjadi ketika para pemimpin negara hanya memikirkan keluarganya masing-masing, tentunya pemimpin Indonesia yang baru seyogyanya hadir untuk memastikan pendidikan yang mampu menumbuhkan dan memelihara rakyat untuk sampai pada masyarakat ilmu, kepentingan rakyat adalah masa depan Indonesia. Jika didasari pada kepentingan kelompok tertentu masa kelam Indonesia akan tiba, "pemilu bukan untuk memilih yang terbaik tetapi mencegah yang terburuk berkuasa" (Romo Magnis Suseno), pada pemilu yang akan tiba pengharapan rakyat Indonesia adalah adanya kesejahteraan masyarakat dan menjaga kehidupan berbangsa. <strong>(Fahrul Dason)</strong>
Sumber: