Babi Bebek
<!-- wp:paragraph --> <p>Oleh: Dahlan Iskan</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>KELIHATANNYA ini memuji, tapi menyakitkan. Terutama bagi yang dituju. "Nah, ini dia. Baru pas. drh Indro bicara soal virus PMK sapi. Bukan virus Covid-19," tulis seorang yang Anda sudah tahu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Maksudnya: dokter hewan itu harus bicara tentang sakitnya hewan. Bukan tentang penyakit yang menyerang manusia seperti virus Covid.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Memang, ketika drh Indro Cahyono mengungkapkan penelitiannya tentang PMK, tidak ada yang sewot. Umumnya memuji. Kecuali mungkin, para penanggungjawabnya saja.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Drh Indro lah yang pertama meneliti bahwa PMK sudah masuk Indonesia. Itu berarti Indonesia sudah bukan negara bebas PMK lagi. Di Jatim misalnya, sudah merata. Semua kabupaten sudah terjangkiti.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Itu berbeda ketika drh Indro banyak bicara soal virus Covid dulu. Ia digebuki. Diejek. Dihina. Dilecehkan. Terutama: diremehkan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tapi reaksi Indro cuek bebek goreng. "Itu sudah makanan saya sehari-hari. Puluhan tahun. Kalau saya pedulikan itu saya tidak bisa jadi peneliti," ujarnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Indro sangat memaklumi sikap umum masyarakat seperti itu. Ia tidak marah. Ia tidak gelisah. "Mereka kan tidak tahu bahwa prinsip virus itu sama. Yang menyerang manusia kek, yang menyerang hewan kek, prinsipnya sama. Bahkan pun virus yang menyerang tanaman," katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Maka Indro pilih menulis buku. Tentang virus. Khususnya Covid-19. Baru saja terbit. Pekan lalu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Buku itu menarik sekali. Bukan buku ilmiah, dalam pengertian jurnal. Tapi ilmiah merakyat.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Semua aspek virus ia bahas. Tiap aspek ia tulis dalam satu bab. Tiap bab, rata-rata, tidak sampai 1 halaman. Membacanya enak. Bahasanya merakyat. Banyak info grafik.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Membaca buku ini seperti makan bebek goreng satu suap, satu suap, satu suap, tiba-tiba tamat. Tidak sampai kabangkulanan, apalagi tersedak.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Misalnya ada satu bab yang membahas pertanyaan ini: virus itu benda hidup atau benda mati? Sebenarnya saya ingin pembaca Disway menebak jawabannya. Lalu dapat hadiah buku tersebut. Tapi saya khawatir: semua tebakan pembaca salah. Saya sendiri pernah mencoba menebaknya: saya salah.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Maka saya bocorkan saja jawabannya di sini: virus itu bukan benda hidup, juga bukan benda mati. "Definisi yang paling mendekati adalah virus itu parasit sejati," tulis Indro (halaman 3). Bahasa sono-nya: parasit obligat. Yakni parasit yang menumpang dan tergantung sepenuhnya pada sel makhluk hidup yang dimasukinya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ditulis juga di bab itu: lantas apa tujuan hidup virus? Tujuan virus hanya satu: mereplikasi diri. Ia tidak punya tujuan membunuh manusia. Hewan pun tidak. Juga tumbuhan. Kematian itu hanya akibat saja.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Bahkan, dalam aksinya, virus itu tidak ngawur. Ia tidak bisa masuk ke sembarang sel. Kalau pun bisa masuk ke beberapa jenis sel ia tidak mau membuat infeksi sel itu. Tidak bisa. Setiap jenis virus punya darling sel tertentu. Istilah sono-nya: sel target. Kalau pun bisa masuk ke sel yang bukan darling-nya, virus itu hanya diam saja di situ.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sebagai peneliti virus yang serius Indro punya koleksi berbagai macam virus. Orang seperti ia tidak sama dengan kita-kita pada umumnya. Kita takut virus. Bahkan ada yang sampai paranoid. Ia tidak.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kalau sudah menggeluti virus Indro tidak ingat lagi kalau ia itu dokter hewan. Ini ilmu virus. Bukan ilmu hewan. Dokter hewan itu kuliahnya di S1. Ia pindah ke ilmu virus. Berarti tidak melulu lagi mendalami ilmu hewan. Apalagi, apa sih bedanya manusia dengan hewan dan tanaman –dalam hal ilmu susunan selnya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Bab terpendek di buku itu tidak sampai setengah halaman. Dua menit selesai membacanya. Yakni bab ''apakah antibiotik bisa membunuh virus''. Saya bocorkan saja jawabnya: tidak. Antibiotik hanya bisa membunuh bakteri.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sejak kapan Indro menemukan solusi nyata untuk kehidupan yang lebih baik? “Sejak saya masih jadi peneliti junior. Itu tahun 2005," katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saat itu ada penyakit AI pada ayam. Membahayakan. Bisa jadi wabah. Temuannya kala itu, katanya, juga ditertawakan orang. "Jadi kalau sekarang masih ditertawakan itu sudah biasa," katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Jika pak Dahlan pernah dengar tentang bayclin untuk membunuh virus AI di kandang, itu hasil penelitian saya," ujar Indro.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya minta maaf. Saya tidak pernah mendengar itu. Saya tidak punya ternak ayam. Saya hanya suka sop ayam. Terutama yang bikinan Si Galuh Banjar itu.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kalau di masa Covid Indro melahirkan ''Protokol Rakyat'' di wabah PMK, sekarang ini Indro membuat ''Protokol sehat ternak'' khusus untuk mengatasi wabah PMK.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Indro sudah meneliti berbagai macam virus kecuali virus ASF yang menyerang babi. Virus ASF itu, katanya, ganas sekali. "Tingkat kematiannya sampai 80 persen. Bisa 100 persen. Dalam 14 hari," ujar Indro.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Itulah yang menyebabkan Tiongkok pernah mengalami krisis babi. Penyakit itu juga sampai ke Indonesia. Ternyata sampai sekarang belum ada penelitian soal itu. Di negara kita.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Mengapa Mohamnad Indro Cahyono tidak tertarik menelitinya ASF? "Bukan tidak tertarik. Biarlah ada ahli lain yang meneliti," katanya. Indro sekaligus menantang mereka yang mendapat fasilitas negara di bidang penelitian untuk menghasilkan karya bagi rakyat. "Sampai sekarang pun belum ada hasil penelitian soal ASF di Indonesia," katanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Waktu itu Indro justru diminta membantu mengatasi ASF di Vietnam. Hasilnya, dari 1.000 babi yang terjangkit ASF di sana, hanya 3 persen yang mati.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Indro memilih memperkuat posisi peternak. Yakni dengan solusi mandiri. Itulah sebabnya ia melahirkan banyak 'protokol rakyat'. Termasuk protokol ayam dan protokol bebek. Ia pernah menemukan virus DVH di bebek. Juga virus IBJ di anak ayam.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>"Sepertinya sudah takdir saya harus hidup bersama virus," ujar Indro. Ia pun masih terus menjalin hubungan dengan Australia tempatnya belajar ilmu virus.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tentu ia tidak kirim bukunya ini ke sana: buku ini berbahasa Indonesia.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya memberanikan diri minta buku virus karyanya itu 15 buah. Saya ingin memberikan kepada pembaca, khususnya komentator Disway. Siapa tahu itu bisa meredakan kerusuhan demo di kolom komentar Disway.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Pak Pry-lah yang kita minta menentukan siapa 14 orang yang berhak mendapat buku itu –satu untuk dirinya sendiri. Keputusan beliau tidak bisa diganggu gugat. Pun oleh saya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Saya tahu akan banyak yang minta Pak Mirza sebagai penentu, tapi sudah lebih dua minggu beliau konsentrasi entah di mana. Jangan-jangan ia justru sedang membaca buku karya drh Indro ini.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Menurut pendapat saya inilah buku yang sangat praktis dan mudah dimengerti. Misalnya ketika Indro menulis Bab 2: apa itu antibodi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Dijelaskan, ukuran antibodi itu jauh lebih kecil dari virus Covid. Antibodi itu kecilnya 10 nanometer. Tidak bisa dilihat, pun oleh mikroskop biasa. Padahal yang akan dibunuh oleh antibodi itu besarnya sepuluh kali lipat.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ada yang sampai 50 kali lipat. Anda sudah tahu: ukuran virus Covid itu 100 nanometer (paling kecil) sampai 500 nanometer.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Bagaimana si kecil antibodi bisa membunuh raksasa Covid? "Ratusan antibodi mengepung dan mengeroyok virus. Seperti semut mengerubungi seputih cokelat. Sampai cokelatnya tak terlihat lagi. Lalu virus itu pun mati.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Bacalah sendiri hasil pemikiran, penelitian dan penulisan Indro ini. Saya tidak bisa membocorkan semuanya.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Berpikir itu penting. Berbuat juga penting. Indro melakukan keduanya. (*)</p> <!-- /wp:paragraph -->
Sumber: