Oleh: Andi Muhammad Jufri (Praktisi Pembangunan Sosial)
Bom ...Bom ...dua bom meledak memecah kekhusyuan khotbah Jumat (7/11/2025, pukul 12.15 WIB), di lingkungan SMAN 72 Jakarta, kompleks Kodamar TNI Angkatan Laut, Kelapa Gading. Bom ....Bom ...., 1 bom pecah di taman baca dan 1 bom lagi pecah di Bank Sampah, membuat siswa sekolah dan masyarakat sekitar yang sedang beribadah di masjid tersebut, panik dan berlarian. Ada sekitar 96 orang korban terluka bakar maupun terkena serpihan. Mereka kini dirawat di RS Islam Jakarta, Cempaka Putih, Jakpus (detik.news, 9/11/2025).
Bila mendengar bom meledak, asosiasi pikiran kita merujuk ke aktivitas kelompok dan jaringan radikal terorisme yang ada selama ini di Indonesia. Mereka adalah individu atau Kelompok Jemaah Islamiyah (JI), Jemaah Ansharut Daulah (JAD), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Negara Islam Indonesia (NII), Aviliasi Jaringan Al Qaeda, Aviliasi Jaringan ISIS, dan lain-lain.
Namun, pelaku peledak di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara, ini, adalah siswa sekolah yang memiliki riwayat korban bullying. Sangat jauh dari landasan dan latar ideologi yang selama ini kita kenal. Walaupun kelompok radikal terorisme saat ini, juga menyasar anak-anak, remaja dan pemuda serta perempuan, namun ideologi yang didoktrinkan adalah intoleransi, dikotomi secara tajam benar vs salah, musuh atau kafir dan bahkan halal darahnya bagi kelompok tidak sepaham.
Pada rapat Komisi III DPR RI dengan BNPT, Senin (10/6/2024), Kepala BNPT pada waktu itu, Komjen Mohammed Rycko Amelza Dahniel dalam paparannya menyampaikan bahwa kategori remaja kaitannya dengan paham radikal di Indonesia terdiri dari remaja toleran (70 persen), remaja intoleran pasif (22,4 persen), remaja intoleran aktif (5 persen), dan berpotensi terpapar (0,6 persen).
Tentu data ini menarik, karena bisa saja, kondisi remaja yang intoleran (pasif dan aktif), serta yang berpotensi terpapar menjadi "jerami sosial" yang mudah tersulut oleh paham kekerasan (radikal) dari mana pun sumber, jenis dan caranya.
Jerami sosial merujuk pada jerami padi yang sudah panen di sawah. Biasanya petani membiarkan jerami tertempa panas sampai kering. Pada kondisi tersebut, setitik api dapat membakar jerami menjadi debu. Jerami sosial yang kering adalah sebuah kondisi di mana individu atau kelompok merasakan perlakuan ketidakadilan, kekerasan fisik dan non fisik (seperti perundungan atau bullying), baik yang terjadi di rumah, sekolah dan lingkungan masyarakat. Perlakuan kekerasan yang berulang-ulang, akan melahirkan rasa marah, sakit hati, dan dendam yang mendalam.
Pada saat seseorang jatuh dalam kondisi psikologis dan emosional seperti di atas, kemudian bertemu dengan situasi lingkungan terdekat yang tidak peduli dan tidak harmonis, bahkan menjerumuskan ke prilaku negatif (narkoba, minunan keras), maka kerawanan terjadinya kekerasan semakin besar.