DPRD Kota Makassar
PEMKOT MAKASSAR

LBH AAI ON Minta Majelis Hakim Tolak Dakwaan JPU Atas 7 Terdakwa Kasus Pembakaran DPRD Sulsel

LBH AAI ON Minta Majelis Hakim Tolak Dakwaan JPU Atas 7 Terdakwa Kasus Pembakaran DPRD Sulsel

--

DISWAY SULSEL  – Para terdakwa kasus pengrusakan dan pembakaran Kantor DPRD Provinsi Sulsel, masing-masing Muhammad Rizqi, Audi Frost Johanes Uber, Afriza, Muh. Radit, Silvester Nong Kevin, Muh. Resky Anugrah Saputra, dan Arman Maulana Malik, melalui kantor hukum LBH AAI ON Advokat/Konsultan Hukum Dr. Metsie Tatto Kandou, SH., MH. & Associates, mengajukan eksepsi (keberatan) atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dinilai keliru.

Menurut penasihat hukum, kekeliruan tersebut terletak pada bentuk surat dakwaan alternatif, yakni dakwaan yang satu dengan yang lain saling mengecualikan dan memberikan pilihan kepada hakim untuk menentukan dakwaan mana yang tepat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa atas tindak pidana yang dilakukan.

"Jadi, antara satu dakwaan dengan dakwaan yang lain tersirat perkataan ‘atau’ yang memeberi pilihan kepada hakim untuk menerapkan salah satu di antara dakwaan-dakwaan yang diajukan. Pada lazimnya surat dakwaan yang berbentuk altenatif, baru dapat diterapkan apabila tindak pidana yang dilakukan terdakwa berada dalam ‘persentuhan’ dua atau beberapa pasal tindak pidana yang ‘saling berdekatan‘ corak dan ciri kejahatannya," kata Ketua LBH AAI ON, Metsie Tatto Kandou, Rabu (26/11/2025).

Ia menyebut bahwa kedua tindak pidana dalam sebagian dakwaan JPU tidak memiliki corak dan ciri kejahatan yang bersentuhan maupun berdekatan.

"Hal tersebut terlihat dalam beberapa dakwaan Jaksa Penuntut umum dengan dakwaan kesatu yang tidak di juntokan dengan pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, dengan dakwaan kedua yang di juntokan dengan pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP yang membuktikan bahwa kedua tindak pidana yang di dakwakan oleh jaksa penuntut umum adalah tidak bersentuhan dan tidak berdekatan corak dan ciri kejahatannya karena satu tindak pidana dilakukan secara sendiri-sendiri dan yang lainnya dilakukan secara bersama-sama," sebutnya.

"Sehingga dengan demikian bentuk dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut umum adalah sangat keliru, dan sangat beralasan untuk dinyatakan dakwaan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima," sambungnya.

Ia menilai bahwa JPU seharusnya membuat surat dakwaan dengan bentuk kumulasi penyertaan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 141 KUHAP, yakni merumuskan dakwaan dalam satu surat dakwaan untuk seluruh terdakwa sekaligus, sebagaimana juga telah diterapkan oleh majelis hakim yang memeriksa para terdakwa dalam satu persidangan.

Terkait pemecahan (splitsing) berkas perkara oleh JPU, ia menilai hal itu merugikan terdakwa karena berpotensi menjadikan mereka saling bersaksi satu sama lain, yang bertentangan dengan asas bahwa keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti bagi dirinya sendiri.

"Sehingga dengan demikian nampak dakwaan Jaksa Penuntut umum dalam perkara ini sangat di paksakan, karena tergambar dalam dakwaannya bahwa tidak ada saksi lain, selain dari para terdakwa sendiri yang bisa menjadi alat bukti dalam pembuktian oleh Jaksa Penuntut umum," tukasnya.

Lebih jauh, ia mengatakan eksepsi diajukan karena dakwaan batal atau batal demi hukum. Dakwaan JPU dianggap tidak memenuhi syarat materiil sebagaimana dimaksud Pasal 143 huruf b KUHAP, yaitu ketika surat dakwaan mengandung pertentangan antara satu rumusan dengan lainnya.

"Bahwa dalam beberapa surat dakwaan penuntut umum, nampak dan jelas pertentangan antara dakwaan ke satu dan dakwaan kedua sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, yaitu dakwaan kesatu tidak di juntokan dengan pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, sedangkan dakwaan kedua di juntokan dengan pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, sehingga menimbulkan ‘keraguan’ bagi terdakwa tentang perbuatan atau tindakan mana yang di dakwakan kepadanya," terang Metzi.

Ia juga menunjukkan bahwa dakwaan JPU menggambarkan perbuatan dilakukan sendiri-sendiri, namun pada saat yang sama juga disebut dilakukan bersama-sama. Selain itu, perbuatan melempar batu dan merobohkan gerbang dinilai tidak mungkin menyebabkan gedung DPRD rusak parah seperti yang disebutkan dalam dakwaan.

"Dalam dakwaan penuntut umum dijelaskan bahwa dengan tindakan para terdakwa tersebut menyebabkan Gedung DPRD Tingkat I Provinsi Sulawesi Selatan rusak parah dan tidak dapat digunakan lagi, hal tersebut sangat bertentangan dengan logika," paparnya.

Ia menegaskan kerusakan gedung bukan akibat perbuatan para terdakwa. Karena itu, ia meminta hakim memperhatikan kualitas dakwaan JPU yang dinilai penuh rekayasa.

Sumber: