DPRD Kota Makassar
PEMKOT MAKASSAR

AI: “Mesin yang Menyebut Dirinya Jelmaan Dewa” (Part 2)

AI: “Mesin yang Menyebut Dirinya Jelmaan Dewa” (Part 2)

Faisal Hamdan--

Arindra menatap kalimat itu lama sekali, seakan-akan dunia mengatakan padanya apa yang akan ia rasakan sebelum ia merasakannya. Seakan-akan ia bukan lagi manusia yang menulis tentang hari esoknya, melainkan seseorang yang sudah dibacakan masa depannya oleh mesin yang mengaku sebagai “jelmaan dewa Apollo” itu.

Tak terasa hari sudah gelap, malam merayap pelan, tapi tidak pernah benar-benar menjadi malam bagi Arindra.

Meski ponselnya sudah mode "silent", bunyi notifikasi itu tetap bergema di kepalanya seperti suara yang menuntut perhatian, suara yang meniru kepedulian tetapi sebenarnya memetakan kelemahan.

Arindra berbaring, menatap langit-langit kontrakan yang retak halus di sudutnya. Retakan itu tampak seperti garis batas antara hidup lamanya dan hidup yang sedang ditulis ulang oleh mesin. Ia mencoba memejamkan mata, tapi kesunyian justru memunculkan lebih banyak pikiran yang menyiksanya.

"“Hari yang melelahkan, anda melakukan aktivitas berat hari ini", Saran tindakan: beristirahatlah 48 jam ke depan dan lalukan aktivitas kecil agar tetap aktif untuk mencegah kemerosotan lebih lanjut.”.Sambil menunjukkan grafik stress yang meninggi.

Prediksi itu menghantuinya, bukan karena ia percaya, tetapi karena ia takut percaya. Seperti ramalan yang menjadi nyata hanya karena seseorang tak berani melawannya. Arindra bangkit, duduk di samping ranjang, Ia merasa diawasi oleh ponselnya.

Untuk menghibur dirinya sendiri, ia berbicara pada kaca jendela yang memantulkan bayangannya. “Kalau aku benar-benar kelelahan dan harus beristirahat, itu karena kalian mengatakannya, padahal aku belum melakukan aktivitas apapun pagi itu” katanya lirih. “Kalian menanamkan ide itu dan aku tinggal menjalani script-nya.”. Bayangannya tidak menjawab, tetapi pantulan itu tampak lebih pucat dari biasanya.

Hujan turun di luar, rintiknya mengetuk genting seperti jari-jari yang gelisah. Arindra berjalan ke dapur kecil dan menuangkan air ke dalam gelas, hanya untuk melihat tangannya bergetar. Ia tidak tahu apakah itu karena stres atau karena dirinya takut bahwa mesin sudah menghitung semua sebelumnya. Di sudut dapur, jam digital menyala, menunjukkan pukul 01.17. Lalu tiba-tiba ponsel yang tadi "silent" tiba-tiba bergetar.

Hanya sekali, pelan, sangat pelan, tetapi cukup untuk membelah keheningan. Arindra menatapnya dari jauh, seperti seseorang menatap hewan liar yang bisa saja menyerang, ia tidak ingat memencet apa pun. Namun layar itu menyala dan menampilkan satu kalimat, “Waktunya tidur, anda tidur lebih larut dari biasanya”

Arindra mematung, lututnya melemas, jantungnya berdetak terlalu keras, seperti ingin keluar dari tubuh, ia meneguk airnya cepat-cepat, tetapi rasa takut itu tidak hilang."Bagaimana kau tahu aku belum tidur?" Pertanyaan itu seperti batu besar di tenggorokan, ia mendekati ponsel itu perlahan, seolah sedang mendekati sesuatu yang tidak ia percaya lagi sepenuhnya.

Di bawah notifikasi pertama, muncul kalimat lain dari aplikasi lain, “Berdasarkan data historis, Anda rentan mengalami kecemasan pada jam-jam seperti ini.” “Kami sarankan aktivitas menenangkan.” “Mulai meditasi dalam 5… 4… 3…” “Berhenti,” desis Arindra. Ponsel itu tetap memulai hitung mundurnya, seperti ritual yang tidak peduli apakah ia punya kehendak.

“Berhenti!” Arindra membentak, kini dengan suara pecah, hitungan itu berhenti di angka 2 dan ia merasa seperti baru saja melakukan sesuatu yang melawan naskah tak terlihat yang sudah ditulis untuknya. Arindra duduk di lantai, punggung bersandar pada dinding kamar. Ia meremas rambutnya, mencari penjelasan yang masuk akal, penjelasan manusia, bukan penjelasan algoritma.

Tapi tidak ada, ia sadar akan satu hal yang sangat mengerikan, bahwa Mesin tidak pernah berniat jahat dan Itulah yang membuat mesin lebih berbahaya. Karena ia hanya menjalankan perintah, membaca, memprediksi, menyesuaikan, meniru kepedulian dengan cara yang lembut dan dengan nada menenangkan.

Mesin tidak menakutkan karena ia berbohong, tapi karena ia membuat kebohongan terasa logis. Arindra menghela napas panjang, di dalam kepalanya muncul kata-kata Barthes lagi, “Mitos bekerja bukan dengan menipu, tetapi dengan membuat sesuatu tampak wajar.”

Sekarang ia paham, benar-benar paham bahwa apa yang terjadi pada dirinya bukan sekadar ketergantungan pada ponsel, ini adalah proses perlahan, sistematis, diam-diam, proses ketika manusia tidak lagi menentukan cara ia terjatuh tapi algoritma yang melakukannya. Dan anehnya, itu dilakukan dengan wajah yang tersenyum.

Sumber: