Etika dan Tanggung Jawab Dokter : Tantangan dan Realitas di Lapangan
--
Oleh: Vani Julivia Kusumo, Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Profesi dokter adalah salah satu profesi yang paling dihormati, tetapi juga salah satu yang paling menantang. Dalam menjalankan tugasnya, dokter tidak hanya dituntut untuk memiliki kompetensi klinis yang tinggi tetapi juga harus menjunjung tinggi nilai-nilai etika. Di tengah perubahan dinamika sistem kesehatan yang terus berkembang, integrasi antara etika dan tanggung jawab profesional menjadi kebutuhan yang tidak dapat diabaikan.
Etika kedokteran berlandaskan pada empat prinsip utama: menghormati otonomi pasien, melakukan tindakan yang menguntungkan (beneficence), menghindari tindakan yang merugikan (non-maleficence), dan menjunjung keadilan. Penelitian terbaru melalui metode observasi partisipatif mengungkapkan bahwa dokter secara konsisten berusaha menerapkan prinsip-prinsip ini.
Prinsip otonomi, misalnya, diwujudkan dengan memberikan pasien informasi yang jelas dan lengkap mengenai kondisi mereka serta berbagai opsi pengobatan yang tersedia. Dengan cara ini, pasien memiliki hak untuk membuat keputusan yang sesuai dengan preferensi dan nilai-nilai pribadi mereka. Sayangnya, waktu yang terbatas sering menjadi kendala bagi dokter untuk memberikan penjelasan yang rinci, terutama di fasilitas kesehatan dengan jumlah pasien yang sangat banyak.
Prinsip beneficence dan non-maleficence juga menjadi panduan utama bagi dokter dalam memberikan perawatan terbaik. Namun, keterbatasan sumber daya, seperti kurangnya alat medis modern atau ketersediaan obat-obatan tertentu, sering kali menjadi hambatan. Hal ini terutama dirasakan di daerah terpencil, di mana akses terhadap fasilitas kesehatan yang memadai masih menjadi tantangan.
Prinsip keadilan, yang menekankan akses setara bagi semua pasien terhadap layanan kesehatan, sering kali terganggu oleh ketimpangan sistem kesehatan di Indonesia. Perbedaan kualitas layanan antara kota besar dan daerah pedesaan mencerminkan perlunya perhatian lebih dalam upaya pemerataan fasilitas kesehatan.
Selain mematuhi prinsip-prinsip etika, dokter memiliki tanggung jawab profesional yang mencakup berbagai aspek. Salah satu yang paling menonjol adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan pasien. Komunikasi yang baik tidak hanya membantu dokter dalam memahami kondisi pasien secara mendalam tetapi juga memperkuat hubungan kepercayaan antara keduanya.
Namun, komunikasi saja tidak cukup. Dalam situasi darurat, kolaborasi antarprofesi menjadi hal yang sangat penting. Penelitian menemukan bahwa meskipun dokter memiliki kemampuan teknis yang memadai, koordinasi dengan tenaga medis lainnya seperti perawat atau apoteker sering kali belum optimal. Hal ini menunjukkan perlunya pelatihan dan simulasi kerja tim yang lebih intensif untuk memastikan efisiensi dalam penanganan kasus kritis.
Meskipun dokter telah menunjukkan komitmen terhadap etika dan tanggung jawab profesional, berbagai hambatan tetap ada. Tekanan kerja yang tinggi, misalnya, dapat memengaruhi kemampuan dokter untuk memberikan perhatian penuh kepada setiap pasien. Kompleksitas kasus medis, keterbatasan waktu, dan kurangnya pelatihan etika selama masa pendidikan adalah beberapa faktor yang turut memperburuk situasi.
Beberapa dokter muda mengungkapkan bahwa pendidikan mereka lebih berfokus pada aspek teknis dibandingkan pembentukan karakter profesional yang berbasis etika. Akibatnya, mereka sering merasa kurang siap menghadapi dilema etika yang muncul dalam praktik sehari-hari, seperti konflik kepentingan atau kebutuhan untuk menyampaikan kabar buruk kepada pasien.
Untuk mengatasi hambatan ini, beberapa langkah strategis dapat diambil. Pertama, institusi pendidikan kedokteran perlu merevisi kurikulum mereka untuk memasukkan pelatihan etika dan tanggung jawab profesional sebagai bagian integral dari pendidikan dokter. Pelatihan ini harus mencakup simulasi kasus-kasus etis, diskusi kelompok, dan pengajaran interaktif yang mendorong pemahaman mendalam tentang nilai-nilai etika.
Kedua, kebijakan kesehatan harus mendukung kesejahteraan dokter. Ini termasuk pengelolaan beban kerja yang lebih manusiawi, penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai, dan pemberian insentif bagi dokter yang bertugas di daerah terpencil. Dengan lingkungan kerja yang mendukung, dokter dapat lebih fokus menjalankan tugas mereka dengan baik.
Ketiga, perlu ada upaya kolektif untuk meningkatkan kolaborasi antarprofesi. Simulasi kerja tim dalam situasi darurat, misalnya, dapat membantu dokter dan tenaga medis lainnya memahami peran masing-masing dan bekerja lebih efisien sebagai sebuah tim.
Sumber: