Dorongan Penghapusan Ambang Batas Pilkada
Ilutrasi Ambang Batas Pilkada--Harian Disway Sulsel-Anton--
MAKASSAR, DISWAYSULSEL - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024 menyatakan tentang penghapusan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT).
MK mengabulkan uji materi atas Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal itu dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Pasca penghapusan ambang batas PT ini, desakan untuk diterapkan pada pemilihan kepala daerah mulai bergulir. Meskipun, sebelum Pilkada Serentak 2024 ambang batas pencalonan kepala daerah juga sempat dilakukan penyesuaian.
Pakar Politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Dr. Hasrullah menilai, penghapusan ambang batas penting dilakukan pada Pilkada. Sehingga membuka peluang bagi figur-figur potensial untuk ikut berkontestasi.
“Saya appreciate ada anak muda mahasiswa yang melihat ada kekosongan demokrasi, yang hanya dikuasai oleh the ruling class partai, partai-partai besar yang punya threshold di atas 20 persen. Dengan adanya ini saya kira, memberi petunjuk terhadap kelemahan kita selama ini,” katanya kepada Harian Disway Sulsel, Senin, 6 Januari 2024.
Hasrullah mengatakan, selama ini kontestasi politik di Indonesia terlalu didominasi para partai ‘the ruling class’ atau partai besar yang melampaui threshold. Sehingga pencalonan oleh partai-partai besar tak berlandaskan pada kapasitas figur melainkan pada kekuasaan yang dimilikinya.
“Sebenarnya di awal reformasi partai politik itu berfungsi untuk menyeleksi orang untuk dicalonkan, itu ada seleksi dan panelisnya salah satunya saya pernah. Itu berjalan dengan baik di awal-awal, belum ada intervensi partai-partai penguasa. Sehingga di awal-awal reformasi itu kita dapat bupati, gubernur yang bagus, begitu juga di presiden,” terangnya.
Hasrullah mengungkapkan, terjadi symptom politik atau fenomena perubahan politik yang menggeser peran krusial partai politik sebagai lembaga penyaring tokoh yang berkualitas.
“Ada beberapa calon dengan menggunakan partai, kekuasaan dan kekuatan termasuk uang, power yang dia miliki untuk memaksa. Padahal sebenarnya dia tidak pantas jadi gubernur, bupati, maupun jadi presiden seperti yang terjadi sekarang ini,” ujarnya.
Sehingga penghapusan ambang batas pencalonan diharapkan tidak hanya berlaku pada Pilpres, namun diturunkan ke level kepala daerah.
Menurut Hasrullah, berkaca pada tahun politik 2024 kemarin, baik Pilpres maupun Pilkada Serentak, tidak ada figur pemimpin yang terpilih berdasarkan kapasitasnya.
“Ada hal yang berubah belakangan ini di mana permainan partai menjadi sangat dominan. Sehingga melupakan kualitas sumber leadership yang dimiliki seorang calon pemimpin,” sebutnya.
Dengan dihapusnya ambang batas pencalonan kepala daerah, selain melahirkan kontestasi yang lebih selektif, masyarakat menjadi punya banyak pilihan. Pasalnya semua partai politik berpotensi mendorong calonnya masing-masing karena tak ada partai yang mendominasi.
“Lebih penting lagi MK mengambil jalan cerdas untuk melihat kenyataan-kenyataan yang ada selama ini. Karena kita bisa lihat dari semua pemilihan (kepala daerah) yang ada di Indonesia ini, berapa yang punya kualitas. Kasihan orang yang tidak punya dana tapi punya kapasitas, terus akhirnya tereliminasi gara-gara ini (ambang batas),” tukasnya.
Sumber: