Awas! 'Pemilih Siluman' di PSU Palopo

Ilustrasi Pemungutan Suara Ulang (PSU).--Harian Disway Sulsel-Anton--
DISWAY, SULSEL - Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kota Palopo dinilai rawan disusupi 'pemilih siluman'.
Apalagi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Selatan telah mencoret sebanyak 381 nama dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) sebab meninggal dunia.
Hanya saja, nama-nama tersebut tetap tercantum dalam DPT PSU 24 Mei nanti.
Selain 381 pemilih meninggal dunia, para pemilih yang akan di-TMS-kan juga memiliki data ganda, serta pemilih jadi TNI/Polri. Sehingga, daftar pemilih di DPT yang potensi dicoret masih berpotensi bertambah.
Potensi munculnya para 'pemilih siluman' ini dinilai rawan, jika nama-nama tersebut masih digunakan untuk mencoblos oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Pengamat Kepemiluan Universitas Hasanuddin, Endang Sari, menilai akurasi data pemilih menjadi aspek krusial dalam PSU Palopo.
Akurasi ini tidak hanya berdampak pada validitas hasil pemilu, tetapi menyangkut aspek teknis logistik, seperti jumlah surat suara yang dicetak dan didistribusikan ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Menurut Endang, regulasi telah mengatur bahwa jumlah surat suara disesuaikan dengan DPT, ditambah cadangan sebesar dua persen per - TPS.
Dengan demikian, jika data pemilih tidak akurat, misalnya ada pemilih yang telah meninggal, pindah, atau masuk kategori TMS lainnya, maka berisiko menimbulkan kelebihan atau kekurangan logistik di lapangan.
“Ada pemilih pindah, ada yang disabilitas, semua itu memengaruhi perencanaan logistik. Bahkan jika ada pemilih yang meninggal, konsekuensinya adalah pengurangan surat suara di TPS bersangkutan. Tapi masalahnya, KPU sudah terlanjur mencetak dan menerima surat suara sesuai DPT awal, padahal ada sebagian pemilih yang sudah masuk kategori TMS,” katanya, Rabu, 7 Mei 2025.
Ia mengingatkan pentingnya pencatatan dan pengawasan ketat terhadap distribusi surat suara di setiap TPS. Surat suara yang tidak terpakai akibat pemilih TMS harus tetap berada dalam kendali KPU dan didokumentasikan dengan baik untuk mencegah potensi penyalahgunaan.
“Kerawanan bisa diminimalkan jika saksi dari pasangan calon benar-benar hadir dan aktif di setiap TPS. Mereka menjadi lapisan kontrol yang penting dalam menyandingkan data antara KPU, Bawaslu, dan saksi. Jika ditemukan ketidaksesuaian data, maka harus ditelusuri—bahkan bila perlu hingga membuka kotak suara untuk memastikan kemurnian hasil,” jelasnya.
Endang menekankan, peran pengawasan ini tidak boleh hanya dibebankan kepada KPU. Bawaslu juga harus aktif dan memiliki basis data pemilih secara mandiri terutama berbasis TPS. Tujuannya, untuk memastikan setiap tahapan rekapitulasi berjalan transparan dan akuntabel.
“Kalau Bawaslu hanya menunggu data dari KPU saat rekapitulasi kecamatan, itu bisa menjadi celah penyalahgunaan. Seharusnya sejak TPS, Bawaslu sudah memiliki pencatatan logistik dan pemilih yang hadir secara rinci. Itu baru bisa disebut pengawasan yang maksimal,” pungkas Endang.
Sumber: