Membangun Pulau-Pulau Integritas

Membangun Pulau-Pulau Integritas

AM. Jufri -(Tenaga Ahli Wamen KPPPA /Tim Pemberdayaan Kegiatan Sinergisitas Antar KL - BNPT Tahun 2017-2024)--

Pulau ketiga  yang perlu ada budaya integritas adalah masyarakat. Bila di rumah dan di sekolah anak dididik dengan baik, maka lingkungan masyarakat yang berbudaya integritas  akan memperkuat  anak kita tumbuh dengan karakter yang jujur, berani dan bertanggung jawab. Di masyarakat, terdapat berbagai tempat kegiatan sekaligus tempat berinteraksi antar anggota masyarakat,  seperti tempat ibadah, olahraga, sanggar seni budaya, pertanian, kuliner dan lain-lain.  Berbagai tempat ini akan efektif menjadi sarana pendidikan budaya integritas, bila masyarakat memahami  dan memiliki pengetahuan pengembangan budaya jujur, berani dan bertanggung jawab. Kepemimpinan tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama dan tokoh berbasis kegiatan yang dapat ditauladani dan juga berkomitmen menularkan budaya integritas adalah kunci dari pulau ketiga ini. Namun, bila tokoh -tokoh di masyarakat justru memberikan contoh dan tauladan yang buruk, jauh dari karakter berintegritas, maka kita bisa memastikan benteng membangun budaya integritas di masyarakat juga runtuh. Prilaku tidak berintegritas di tengah lingkungan masyarakat akan menjadi perongrong tenggelamnya pulau pertama, pulau kedua dan juga pulau ketiga ini.

 

Apalagi kondisi kemiskinan masyarakat, terbatasnya akses sumber daya ekonomi,  rendahnya wawasan serta kesadaran berbangsa (berdemokrasi), dan tekanan budaya "hedon" (bermewah-mewah) telah menjadi pendorong bagi banyak orang mencari sumber penghidupan secara instan (menghalalkan segala cara). Pada kondisi seperti ini, masyarakat mengalami kerentanan akan kerapuhan integritas. 

 

Kondisi seperti ini, juga mempengaruhi kompetisi politik mulai lokal sampai nasional. Sebagian masyarakat tidak lagi melihat calon pemimpin dalam berbagai tingkatan dipilih berdasarkan kualitas kepemimpinan dan rekam  jejak "track record", akan tetapi siapa yang banyak uangnya, banyak bagi-bagi, dialah yang dipuja puji dan dipilih. Adagium "Ada uang abang disayang, gak ada uang abang ditendang"" bolehlah menjadi kata paling sering terdengar di tengah masyarakat terutama waktu pesta demokrasi berlangsung, mulai dari pemilihan ketua rukun warga  (RW), pemilihan kepala desa, pemilihan bupati, pemilihan gubernur, pemilihan anggota legislatif daerah dan pusat, serta pemilu presiden dan wakil presiden. 

 

Politik biaya tinggi dan budaya "hedon" (bermewah-mewah) mendorong hasrat dan rasa gengsi mempertahankan status sosial, kekuasaan dan kenikmatan atau kenyamanan hidup. Siklus ini akan membuat munculnya ketamakan atau keserakahan (greed), tidak pernah puas, untuk mendapatkan harta melebihi kebutuhan dasar. 

 

Jack Bologne dalam "Gone Theory" menyatakan bahwa kebutuhan (needs) dan keserakahan  terkait individu.  Menurut  Donald R. Cressey dalam "Fraud Triangle Theory" bahwa kebutuhan dan keserakahan menjadi motivasi seseorang melakukan korupsi. Teori Willingness and Opportunity to Corrupt juga mengungkapkan bahwa  niat atau keinginan melakukan korupsi karena didasari adanya kebutuhan. 

 

Di lingkungan masyarakat juga muara pertemuan antar keluarga, antar teman sekolah dan alumni, antar teman sekampung atau sesama daerah,  antar teman atau rekan kerja, teman sehobi dan lain-lainnya.  Kita berharap jejaring hubungan keluarga dan pertemanan ini, menjadi salah satu pengingat dan penjaga integritas.  Rasa malu akan muncul bila salah satu keluarga atau teman yang terungkap (terexpose) melakukan korupsi. 

 

Kita tidak ingin keluarga dan teman justru menjadi pendorong hilang dan lumpuhnya akal sehat kita. Bahkan lebih berbahaya lagi, bila akal "rasionalitas digunakan untuk mengambil keputusan melakukan kolusi, nepotisme dan korupsi karena merasa manfaat yang diterima lebih besar. Seperti yang diungkapkan oleh Jack Bologne pada  Gone Theory bahwa pelaku telah siap dengan konsekuensi bila kegiatan korupsi yang dilakukan terungkap (terexpose).  Donald R. Cressey  dalam Fraud Triangle Theory juga mengungkapkan bahwa pelaku korupsi telah menggunakan rasionalitas atas perbuatannya. Hal ini semakin diperjelas dalam Teori Cost-Benefit Model bahwa korupsi terjadi jika manfaat korupsi yang didapat dirasakan lebih besar dari biaya/risikonya. 

 

Bila pulau keluarga, pulau sekolah, dan pulau lingkungan masyarakat tegak dengan budaya berintegritas, didukung dengan perbaikan sistem dan tata kelola yang akuntabel dan transparan  pada pulau ke empat yaitu tempat bekerja baik di kelembagaan negeri maupun swasta, maka kita berharap adanya perbaikan atas maraknya peristiwa korupsi. Namun, kita melihat hari ini bahwa telah terjadi kelemahan sistem tata kelola lembaga-lembaga yang ada. Hal ini menjadi celah kerapuhan dan membuka peluang (kesempatan) untuk korupsi.  Jack Bologne dalam Gone Theory menyampaikan bahwa kesempatan merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya korupsi pada organisasi, instansi dan masyarakat luas.

Sumber: