PT.Vale Harus Divestasi Saham dan Prioritaskan Tenaga Kerja Lokal
<!-- wp:paragraph --> <p>MAKASSAR, -- PERNYATAAN Ketua Komisi D Provinsi Sulawesi Selatan Rahman Pina yang mempersilahkan PT. Vale Indonesia untuk angkat kaki dari Sulsel, menarik untuk ditanggapi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ketua Komisi D yang membidangi Pertambangan dan Lingkungan Hidup itu sangat serius dengan pernyataannya yang sangat keras karena menyangkut kelangsungan operasi salah satu perusahaan nikel terbesar di Indonesia. Pernyataan sangat keras itu tentu saja memiliki pembenaran baik secara politis maupun secara sosial, ekonomi dan kultural.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Pertama, PT. Vale Indonesia yang dulunya adalah PT. Inco telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1967 berdasarkan Kontrak Karya (KK) dan memiliki konsesi yang membentang seluas 218.000 hektar, hanya mampu menambang sekitar 7.000 hektar selama 56 tahun beroperasi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Meski telah diciutkan melalui negosiasi yang panjang dengan pemerintah menjadi seluas 118.000 hektar, PT. Vale hanya mampu menambang di wilayah Blok Sorowako saja.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Sementara luasan KK-nya membentang mulai dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Artinya, PT. Vale tidak mampu memaksimalkan produksi nikel yang sangat melimpah dan telah dikuasainya selama lebih dari 50 tahun.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Fakta tragisnya, PT. Vale hanya mampu menggarap sekitar 6 persen dari total lKK yang telah dikuasainya. Sekiranya PT. Vale terus menerus diberi kuasa untuk menambang di lahan seluas 118.000 hektar dengan kemampuan garapannya hanya sekitar 7.000 hektar selama 50 tahun, maka estimasi waktu yang dibutuhkan PT. Vale untuk menambang seluruh KK adalah sekitar 800 tahun atau delapan abad.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Kedua, Operasi yang sangat lamban, konflik dengan masyarakat tempatan, masalah lingkungan, tergerusnya nilai-nilai dan kearifan lokal serta kontribusi ekonomi yang tidak signifikan membuat pemangku kepentingan terkait terus-menerus menyerang PT. Vale sejak awal beroperasi hingga hari ini.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ini membuktikan kegagalan manajemen perusahaan dalam membina komunikasi dan hubungan baik dengan seluruh pemangku kepentingan di industri pertambangan. Olehnya itu pemerintah pusat harus segera turun tangan memberi solusi konkret agar manajemen tata kelola tambang dan kemitraan strategis dengan seluruh pemangku kepentingan segera dibenahi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ketiga, manajemen PT. Vale harus menyadari bahwa rezim KK telah berakhir. Perusahaan tidak lagi sejajar dengan negara sebagaimana implikasi hukum dari KK, tetapi hanya sebagai operator pertambangan saja. Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara sangat tegas mengatur bahwa KK harus diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Artinya azaz lex specialis yang selama ini berlaku untuk rezim KK, gugur dengan sendirinya. Selain itu, aturan pemerintah sangat jelas mengenai kebijakan divestasi saham. Penanaman Modal Asing (PMA) harus melepaskan sahamnya sebesar 51% untuk pemerintah/publik dan hanya dibolehkan maksimal 49% untuk PMA.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Contoh yang sangat konkret adalah PT. Freeport Indonesia. Meski perusahaan tembaga dan emas terbesar di dunia asal Amerika Serikat ini bertahan dan mencoba melakukan perlawanan, pemerintah RI menegaskan bahwa aturan harus ditegakkan dan divestasi saham pun terjadi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>PT. Vale Indonesia tidak punya pilihan lain kecuali mengubah paradigma lamanya dalam mendesain dan melaksanakan tata kelola perusahaan yang tidak lagi berlindung di bawah rezim KK. PT.Vale harus melakukan langkah-langkah taktis yang radikal untuk tetap survive beroperasi.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Pertama, melepas sebagian KK yang tidak mampu dikelolanya dan menyerahkannya ke negara. Kedua, PT. Vale segera melakukan divestasi saham dan memberi prioritas bagi pemerintah kabupaten Luwu Timur dan provinsi Sulsel sebagaimana cara yang dilakukan oleh PT, Freeport Indonesia.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Ketiga, menempatkan SDM lokal di posisi strategis perusahaan. Selama perusahaan beroperasi, belum pernah ada putera terbaik Sulsel yang duduk sebagai Direksi di perusahaan.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Tuntutan dan statemen keras dari Ketua Komisi D DPRD Sulsel tentu bukan untuk kepentingan pribadi, bukan tentang Luwu atau Sulawesi Selatan, tetapi untuk kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia.</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>Keempat, sekiranya PT. Vale tidak memiliki keinginan baik untuk melakukan hal-hal tersebut di atas, maka sebaiknya PT. Vale segera hengkang dari bumi Celebes, Sulawesi Selatan.(*)</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p><strong>Hidayah Muhallim, S.SoS, MA</strong></p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p>(Pengamat Pertambangan, lulusan S2 Sosiologi Universitas Hawai, Amerika Serikat)</p> <!-- /wp:paragraph --> <!-- wp:paragraph --> <p></p> <!-- /wp:paragraph -->
Sumber: