DPRD Kota Makassar
PEMKOT MAKASSAR

AI: “Mesin yang Menyebut Dirinya Jelmaan Dewa” (Part 2)

AI: “Mesin yang Menyebut Dirinya Jelmaan Dewa” (Part 2)

Faisal Hamdan--

DISWAY SULSEL - Pagi itu Arindra duduk di tepi ranjang, melakukan "ritual manusia modern" yang langsung menggenggam ponselnya saat terbangun, tapi ada yang aneh menurut Arindra pagi itu, Handphone yang biasanya tak berhenti memberi notifikasi kini menjadi diam. Hening seketika menggantung di kamar sempit itu, tetapi bukan hening yang menenangkan, melainkan hening itu seperti jeda di antara dua kalimat yang seharusnya tidak pernah ia dengar.

"Siapa yang membaca diriku lebih cepat, aku atau algoritma?”. Pertanyaan itu menghantuinya, seolah-olah ada tali halus yang melingkar di lehernya, dirajut oleh jutaan data yang ia berikan dengan sukarela selama bertahun-tahun pada mesin. Tiba-tiba semuanya terasa menakutkan, ia merasa seperti tokoh dalam tragedi modern yang ditulis bukan oleh dramawan, tetapi oleh kumpulan server yang tak pernah tidur.

Ia lalu berdiri, menuju sebuah meja dan meraih segelas air diatasnya, tapi tangannya gemetar, setetes air jatuh ke layar ponsel, didetik itu layar menyala sendiri seakan menunggu momen sentimental ini, rekomendasi baru kembali muncul, “Kami menemukan 12 pekerjaan yang cocok buat Anda.”. Arindra mengernyit. “Pekerjaan yang cocok?” ulangnya pelan, lebih sebagai ucapan untuk memeriksa kewarasannya sendiri.

Ia membuka notifikasi itu, sebuah daftar muncul, pekerjaan-pekerjaan yang menurut algoritma “stabil secara mental”, “minim tekanan”, “ramah bagi orang seperti Arindra. Seolah-olah aplikasi itu tahu kebiasaan, bakat dan minat Arindra dalam bekerja. Seolah Arindra tak lagi memiliki rahasia dihadapan ponsel itu, hingga bisa merekomendasikn pekerjaan yang cocok buatnya.

Dulu, pikir Arindra, bakatnya hanya dia dan orang yang ada disekitarnya yang tahu. Sekarang bakat itu menjadi “metrik”, angka yang bisa dipetakan, pola yang bisa diprediksi, dan karakter yang bisa dijual. Ia lanjut scroll ke bawah, rekomendasi lain muncul, kali ini lebih intim, “Ingin seseorang untuk mendengarkan? Kami sarankan layanan konseling daring. Gratis 3 hari., “Tempat makan yang cocok untuk suasana sedih Anda.", “Playlist yang disarankan: Menemukan Jati Diri Setelah Terpuruk.”. “Lalu apa selanjutnya?” gumam Arindra. “Kapan kalian mulai menentukan kapan aku harus menangis dan kapan aku harus tertawa?”.

Di luar, suara kendaraan melintas, tapi di dalam kamar setiap detik terasa seperti ritual panjang yang memperlihatkan satu hal kepada dirinya, algoritma telah menulis babak hidupnya tanpa pernah bertanya apakah Arindra ingin membacanya.

Ponselnya tiba-tiba memunculkan notifikasi kecil lain, yang mungkin tidak dianggap penting oleh pengguna lain, tapi justru membuat bulu kuduk Arindra berdiri, “Riwayat aktivitas emosional Anda berubah drastis hari ini.”. Aktivitas… emosional? Arindra terdiam dan perlahan ia memahami.

Detak jantungnya, pola mengetik, nada suara saat berbicara di telepon, kecepatan membaca, frekuensi membuka aplikasi tertentu, dan berapa lama ia berhenti pada satu gambar. Semuanya sedang diukur, semua sedang dibaca.

Seolah-olah kesedihannya bukan lagi emosi pribadi, melainkan anotasi pada grafik. Dan grafik itu akan digunakan untuk membuat rekomendasi yang “tepat”, “sesuai”, dab terkesan “alami”.

Ia memejamkan mata, ia bisa membayangkan dirinya berdiri di panggung teater modern yang dikelilingi cahaya neon, sementara di bangku penonton duduk ribuan algoritma yang sedang menilai pertunjukannya, mereka tidak bertepuk tangan, mereka hanya mencatat.

Arindra membuka mata, menatap ponselnya lagi, layar kecil itu memantulkan wajahnya, wajah seseorang yang tidak tahu apakah ia sedang dikendalikan atau sedang ditolong. Sejenak ia ingin melempar ponselnya ke dinding, tetapi ia tahu, meski ia menghancurkannya, data dirinya tidak akan ikut hancur. Ia sudah terlanjur meninggalkan jejak terlalu banyak.

“Jadi ini rasanya,” pikir Arindra,

“ketika hidup manusia diperlakukan seperti kecacatan dalam sistem, bukan dianggap tragedi, tapi hanya anomali.”

Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan pusing, namun sebelum ia menaruh ponselnya, satu notifikasi dari jam pintar yang terkoneksi ke ponselnya muncul pagi itu, kecil, tenang, tetapi dingin seperti pisau.“Hari yang melelahkan, anda melakukan aktivitas berat hari ini", Saran tindakan: beristirahatlah 48 jam kedepan dan lalukan aktivitas kecil agar tetap aktif untuk mencegah kemerosotan lebih lanjut.”. Sambil menunjukkan grafik stress yang meninggi.

Sumber: