Lampu Stronking di Pambusuang
Ilustrasi. --Int
Oleh: Armin Mustamin Toputiri
”Bacalah buku berbeda. Jika kamu membaca buku yang sama dibaca semua orang, maka kamu akan berfikir tak lebih sama semua orang”.
PAMBUSUANG, kampung kecil di pesisir pantai Sulawesi Barat. Asal tau, dari sinilah muasal jejak, dua tokoh penting republik ini. Pendekar hukum, Baharuddin Lopa, juga ex-Rektor Unhas Basri Hasanuddin.
Di sela dua tokoh itu, Pambusuang masih menyisih satu sosok lagi. Meski, orang-orang di sana tak melirik, juga tak mau peduli. Malah mencap, memvonisnya ”timorang”. Sesosok tak waras.
Saya, murni bukan warga di sana -- tak pernah bersua sosok itu, selain menyimak kisahnya – justru tergiur menelisiknya dari perspektif berbeda. Laiknya dipesan novelis kawakan asal Jepang, Haruki Murakami. Seperti saya kutip di awal catatan ini.
Sosok dicap tak waras itu, akrab disapa Kawendi. Nama disematkan warga dari profesinya, penghela bendi (andong). Telah berpulang, tapi jejaknya melegasi, sebagai misteri.
Kelakuannya, mengungkit ingatan saya pada Florence Nightingale. Gadis berlampu, "The Lady With The Lamp". Tahun 1854, kala perang di semenanjung Krimea-Ukraina baru saja bubar, dia berkeliling menenteng lampu. Mencari korban, lalu diobati.
Kawendi sama. Kala musim angin Timur tiba -- saat angin deras berhembus -- tak alpa menunai rutinitasnya. Keliling kampung menenteng lampu strongking (petromaks) yang menyala. Ajaibnya, ditunai siang hari. Meski waktu yang sama, cahaya mentari terik bersinar.
Syahdan, tampaklah tontonan anomali itu. Kawendi, ubahnya aktor. Pelakon antagonis di atas pentas teater. Prilakunya ”devian”, bertentangan nalar umum. Itulah dalih, dirinya dicap tak waras.
Bikin gemas, Kawendi geming. Tak peduli, cap ditimpakan. Ia kukuh pada rutinitasnya. Saat ditanyai motifnya, dijawab diplomatis. "Mayagai tau tappa pi'de manini mata allo". Semua kita, mesti waspada, jangan-jangan matahari tiba-tiba padam.
Diberitau, matahari sendirinya akan padam, jika qiamat telah tiba. Eeh, dia malah terkekeh. "Kalian, rupanya tak tau, dunia ini dicipta Tuhan cara sekejap. Qun, jadilah!” jelasnya. ”Tuhan mencipta dunia, sekali saja. Tak usah menanti keduanya”.
Nah, dari ujaran itu, apakah Kawendi layak divonis tak waras? ”Malam tadi, juga bulan bersinar terang. Ketika hujan turun, bulan segera padam”. Alam gelap gulita. ”Kalian mesti hati-hati, saat gelap setan dan kuntilanak banyak gentayangan. Berupaya menggoda”.
Itulah Kawendi, sosok multi-tafsir. Multi-interprerasi. Tak jelas presisi antara waras tak warasnya. Normal, vs ab-normalnya. Mengingatkan saya, pada segelintir orang di banyak literatur. Divonis waras, kian diselami, kian ketakwarasannya tampil. Divonis tak waras, kian diselami, kian kewarasannya muncul.
Sumber: