ACC Sulawesi Desak Polda Sulsel Dalami Peran Pejabat Bank BUMN dalam Kasus Kredit Fiktif Rp120 Miliar
Ketua Badan Pekerja ACC Sulawesi, Kadir Wokanubun. --
DISWAY SULSEL — Penanganan kasus dugaan korupsi fasilitas kredit senilai Rp120 miliar dari salah satu bank BUMN kepada Koperasi Karyawan PT Eastern Pearl Flour Mills (EPFM) kembali menjadi sorotan. Setelah hampir dua tahun penyidikan, berkas tiga tersangka yakni inisial MN, RF, dan RHA dikembalikan oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) karena dinilai belum lengkap secara formil dan materil.
“Berkasnya kami kembalikan karena masih terdapat kekurangan (P-19),” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Soetarmi, di Makassar, Senin, 20 Oktober 2025.
Ketiga tersangka tersebut masing-masing inisial MN, selaku Ketua Koperasi Karyawan PT Eastern Pearl Flour Mills (EPFM) yang mengajukan fasilitas kredit ke salah satu bank BUMN; inisial RF, selaku Bendahara Koperasi EPFM yang turut menandatangani dokumen pengajuan dan pencairan; dan inisial RHA, anggota pengurus koperasi yang berperan dalam penyusunan data dan administrasi kredit.
Modus Kredit Fiktif: Data Karyawan Siluman dan Rekayasa Gaji
Kasus ini bermula dari pengajuan fasilitas kredit koperasi pada periode 2018–2019. Berdasarkan penyidikan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, pengajuan kredit dilakukan menggunakan data karyawan fiktif, identitas ganda, serta rekayasa nilai gaji seolah-olah merupakan anggota koperasi.
Dana kredit yang dicairkan tidak disalurkan kepada anggota koperasi sebagaimana mestinya, melainkan dialihkan ke rekening sejumlah pihak, termasuk individu di luar struktur koperasi.
Kapolda Sulsel saat itu, Irjen Pol Andi Rian Djajadi, pernah menjelaskan bahwa modus tersebut dilakukan dengan mengabaikan prinsip kehati-hatian perbankan.
“Kredit disetujui tanpa analisis kelayakan, tanpa verifikasi lapangan, dan menggunakan data fiktif termasuk menaikkan nilai gaji pokok,” ujar Andi Rian dalam keterangan resminya di Mapolda Sulsel, Agustus 2024.
Dari hasil penyitaan, penyidik telah mengamankan uang tunai Rp1,7 miliar, 13 unit mobil berbagai jenis, 10 dump truck, 8 forklift, 5 sertifikat tanah dan bangunan, serta saldo tabungan senilai Rp7,5 miliar. Berdasarkan hasil audit akuntan publik, kerugian negara ditaksir mencapai Rp55 miliar.
ACC Sulawesi: Polda Sulsel Jangan Abaikan Peran Bank BUMN
Ketua Badan Pekerja Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi, Kadir Wokanubun, menilai penegakan hukum atas kasus ini tidak boleh berhenti pada pengurus koperasi semata. Ia mendesak agar penyidik Polda Sulsel juga mendalami peran dan pertanggungjawaban pihak Bank BUMN yang terlibat sejak proses verifikasi hingga pencairan dana.
“Kasus ini tidak bisa hanya dibebankan kepada pengurus koperasi. Tanpa keterlibatan pihak bank, tidak mungkin kredit sebesar Rp120 miliar bisa cair menggunakan dokumen fiktif. Karena itu, penyidik harus menelusuri siapa saja pejabat bank yang memberi otorisasi dalam setiap tahapan kredit,” kata Kadir, Jumat, (24/10/2025).
Menurut Kadir, sistem pemberian kredit di perbankan seharusnya melewati rangkaian verifikasi berlapis dan melibatkan sejumlah pejabat berwenang. Ada Account Officer (AO) yang melakukan analisis awal, Credit Analyst yang menilai kelayakan, hingga pejabat pemutus kredit di tingkat cabang dan wilayah yang memberikan persetujuan akhir.
“Artinya, kalau dana sebesar itu bisa lolos dengan data fiktif, maka ada dua kemungkinan yaitu kelalaian serius atau penyalahgunaan kewenangan. Kedua-duanya sama-sama harus dipertanggungjawabkan secara hukum,” ujarnya.
Bedah Konstruksi Kredit: Mengabaikan Prinsip Kehati-hatian
Kadir menjelaskan bahwa praktik pemberian kredit dalam sistem perbankan nasional diatur dengan prinsip prudential banking atau azas kehati-hatian. Setiap pengajuan kredit bernilai besar wajib melalui empat tahapan utama. Pertama melakukan verifikasi berkas dan data calon debitur.
Pihak bank memeriksa keabsahan identitas, laporan keuangan, dan agunan. Kedua, menganalisis kelayakan kredit. Di mana dilakukan oleh credit analyst untuk menilai kemampuan bayar dan risiko gagal bayar. Ketiga, persetujuan kredit (Approval Process).
Di mana pejabat pemutus kredit melakukan evaluasi berdasarkan hasil analisis dan terakhir pencairan dan pengawasan penggunaan dana, di mana bank wajib memastikan dana digunakan sesuai tujuan kredit dan melakukan monitoring berkala.
“Kalau keempat tahap itu dijalankan sesuai SOP, maka tidak mungkin muncul kredit fiktif. Artinya, ada tahapan yang dilangkahi atau dimanipulasi. Itulah yang seharusnya diselidiki lebih dalam oleh penyidik,” kata Kadir.
Ia menambahkan, ACC Sulawesi memandang penting untuk menjaga fungsi sosial kontrol publik agar penegakan hukum berjalan adil dan tidak tebang pilih.
“Kita tidak ingin kasus ini menjadi contoh buruk bahwa kejahatan korupsi hanya menjerat pihak luar bank, sementara oknum internal yang punya kuasa atas pencairan justru lolos dari pertanggungjawaban,” ujarnya.
Lambatnya Proses Penyidikan dan Sorotan Publik
Hingga kini, penyidik telah memeriksa 154 saksi, termasuk 11 pegawai Bank BUMN, 6 pengurus koperasi, dan 10 anggota koperasi EPFM. Namun, kabarnya belum satu pun pejabat bank ditetapkan sebagai tersangka.
Kadir menilai kondisi ini menunjukkan lambannya penyidikan dan lemahnya keberanian penegak hukum dalam menindak pihak yang memiliki posisi strategis di lembaga keuangan.
“Kredit senilai Rp120 miliar bukan urusan kecil. Jika penyidik berhenti di level koperasi, maka penyidikan kehilangan arah dan publik kehilangan kepercayaan,” ujarnya.(*)
Sumber:
