Dilema Digital: Kenaikan PPN 12% dan Tantangan Hukum ITE di Era Ekonomi Digital
Muh Akbar Fhad Syahril, Akademisi Fakultas Hukum Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada--Istimewa--
Oleh: Muh Akbar Fhad Syahril
Kenailan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025 telah memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat Indonesia. Kebijakan ini, yang merupakan amanat dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara. Namun, di balik tujuan fiskal tersebut, tersembunyi potensi dampak yang lebih luas terhadap perekonomian, khususnya di sektor digital yang sedang berkembang pesat.
Sektor e-commerce, yang telah menjadi tulang punggung ekonomi digital Indonesia, diperkirakan akan terkena dampak signifikan dari kenaikan PPN ini.
Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) memperkirakan bahwa meskipun dampaknya mungkin tidak terasa segera, dalam jangka panjang kenaikan PPN dapat mempengaruhi daya beli konsumen dan pertumbuhan sektor ini.
Hal ini tentu menjadi dilema tersendiri, mengingat e-commerce telah menjadi penggerak utama transformasi digital di Indonesia.
Sementara itu, revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang baru disahkan pada tahun 2024 juga membawa tantangan tersendiri bagi pelaku ekonomi digital6.
Meskipun revisi ini bertujuan untuk memperbaiki kelemahan UU sebelumnya, masih terdapat kekhawatiran bahwa beberapa pasal multitafsir dapat menghambat inovasi dan pertumbuhan bisnis digital. Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum yang dapat mempengaruhi iklim investasi di sektor teknologi.
Dampak ganda dari kenaikan PPN dan implementasi UU ITE yang baru ini berpotensi menciptakan tekanan pada pelaku usaha digital. Di satu sisi, mereka harus menghadapi potensi penurunan daya beli konsumen akibat kenaikan harga, sementara di sisi lain, mereka juga harus berhati-hati dalam mengelola konten dan data pengguna untuk menghindari jerat hukum. Situasi ini dapat memaksa perusahaan untuk melakukan efisiensi, yang pada gilirannya dapat berdampak pada lapangan kerja di sektor digital.
Bagi konsumen, kenaikan PPN 12% akan terasa langsung pada layanan digital yang mereka gunakan sehari-hari. Mulai dari langganan streaming hingga pembelian aplikasi dan game online, semua akan mengalami kenaikan harga. Hal ini dapat mendorong perubahan pola konsumsi digital masyarakat, terutama di kalangan Generasi Z yang sangat bergantung pada layanan digital untuk hiburan dan produktivitas mereka.
Namun, di balik tantangan ini, terdapat peluang bagi inovasi dan efisiensi. Perusahaan-perusahaan teknologi mungkin akan terdorong untuk menciptakan solusi yang lebih hemat biaya dan nilai tambah yang lebih tinggi untuk mempertahankan basis pelanggan mereka. Ini dapat menjadi katalis bagi peningkatan kualitas layanan digital dan pengembangan teknologi baru yang lebih efisien.
Pemerintah sendiri menghadapi dilema dalam menyeimbangkan kebutuhan fiskal dengan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi digital. Di satu sisi, peningkatan penerimaan negara dari PPN diperlukan untuk membiayai program-program pembangunan. Namun, di sisi lain, pertumbuhan sektor digital yang pesat juga merupakan sumber penerimaan pajak yang potensial dalam jangka panjang.
Untuk mengatasi dilema ini, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan yang lebih nuansa dan terdiferensiasi. Misalnya, memberikan insentif khusus bagi startup digital atau menerapkan tarif PPN bertingkat berdasarkan skala usaha. Hal ini dapat membantu memitigasi dampak negatif kenaikan PPN terhadap sektor yang sedang berkembang ini.
Dalam konteks UU ITE, pemerintah dan DPR perlu terus melakukan evaluasi dan penyempurnaan untuk memastikan bahwa regulasi ini tidak menjadi penghambat inovasi. Kolaborasi yang erat dengan pelaku industri dan pakar teknologi dalam proses revisi dan implementasi UU ini sangat diperlukan untuk menciptakan kerangka hukum yang mendukung pertumbuhan ekonomi digital sekaligus melindungi hak-hak digital warga negara.
Tantangan lain yang muncul adalah bagaimana memastikan bahwa kenaikan PPN tidak memperlebar kesenjangan digital yang sudah ada. Masyarakat berpenghasilan rendah dan daerah-daerah yang belum terjangkau internet berkecepatan tinggi mungkin akan semakin tertinggal dalam mengakses layanan digital yang semakin mahal. Oleh karena itu, program-program inklusi digital dan perluasan infrastruktur telekomunikasi harus menjadi prioritas bersamaan dengan implementasi kebijakan fiskal baru ini.
Sumber: